Budiman Sudjatmiko
Budiman Sudjatmiko
"Kerja jauh dari usai, dan pengharapan selalu lebih panjang dari nafas..."

Bergabung


Berlangganan Newsletter

Dapatkan update newsletter dari budimansudjatmiko.net:

Melawan Generasi Korup
30 Nov -0001
Nama awal dan tengah dari kekayaan adalah kecerdasan sosial, jejaring, akar sosial, dan reputasi. Banyak dari kita sudah melupakan itu dengan menjadikan uang sebagai alasan dan faktor utama dalam berpolitik....

Untuk terjun ke politik, Anda harus kaya. Namun, uang hanya nama terakhir dari kekayaan.

Nama awal dan tengah dari kekayaan adalah kecerdasan sosial, jejaring, akar sosial, dan reputasi. Banyak dari kita sudah melupakan itu dengan menjadikan uang sebagai alasan dan faktor utama dalam berpolitik.

Mei 1998. Asap hitam yang membubung tinggi terlihat dari dalam tembok penjara Cipinang mengiringi arus transisi demokrasi. Beberapa hari kemudian kami mengitari radio, mendengarkan pidato pengunduran diri Soeharto. Setiap orang bersukacita, bersalaman, dan berangkulan.

Tiba-tiba seorang kawan, sesama tapol Partai Rakyat Demokratik (PRD), berkata, "Jika transisi demokrasi ini gagal, generasi kita akan berubah menjadi generasi korup yang baru." Kami pun terdiam.

Regenerasi koruptor?

Hari-hari ini canang dari kawan saya itu seperti sedang digenapi. Petualangan Gayus Tambunan sebagai bagian dari jaringan mafia pajak memberikan "getaran emosi" yang dalam. Pada usia 32 tahun ia telah terlibat skandal puluhan miliar rupiah.

"Getaran emosi" lebih kuat saya rasakan ketika mendengarkan kasus Nazaruddin karena menyinggung sejumlah politisi generasi muda yang cemerlang di republik ini.

Teringat percakapan di penjara, saya pun bertanya-tanya: "Apakah generasi yang bangkit melawan generasi korup Orde Baru juga akan jatuh dengan cara yang sama, laksana Ken Arok yang terkena kutukan keris Empu Gandring?"

Tentu saja korupsi bukanlah semata-mata urusan ekonomi meskipun ia jelas melibatkan uang. Korupsi adalah perwajahan dari gugusan proses politik, hukum, dan aspek-aspek lainnya. Menurut Gambetta, ada dua pola umum kourpsi. Yang pertama korupsi layanan: aturan tidak bisa diubah tetapi pelaksanaannya diselewengkan. Yang kedua korupsi aturan: kebijakan diselewengkan sehingga menguntungkan pihak tertentu. Korupsi tipe ini bersifat lebih halus dan suit dideteksi.

Dalam penelitiannya, Hokky Situngkir dari BFI menunjukkan bahwa sejatinya langkah pemberantasan korupsi yang paling efektif adalah penguatan sistem hukum yang dikaitkan dengan pembenahan lingkungan politik tempat para pejabat publik, yang rentan bertindak korup, dilahirkan.

Faktor lingkungan yang melahirkan generasi korup antara lain ongkos persaingan politik dan gaya hidup politisi. Politik biaya tinggi sejatinya adalah pabrik yang melahirkan generasi korup secara terus menerus pada era demokrasi.

Panggung politik akan didominasi oleh pemain "bergizi", baik di level nasional maupun di level daerah. Hal ini juga pernah ditegaskan Febri Diansyah dari ICW bahwa korupsi yang banyak dilakukan dalam pilkada adalah untuk pendanaan kampanye politik. Gejala yang sama saja bisa terjadi dalam pemilihan pemimpin organisasi atau bahkan pemilihan presiden.

Memang ada yang berhasil memenangi posisi jabatan publik sebagai gubernur, bupati, dan wakil rakyat dengan menekan biaya dan tak tergoda korupsi. Namun, harus saya akui bahwa presentase mereka jauh dari memadai untuk mengubah perimbangan kekuatan di dalam sistem politik yang mahal ini.

Sementara itu, sebagian bibit mudah potensial menolak masuk ke sistem karena alergi melihat situasi yang ada.

Jika siklus ini tak kita lawan, demokrasi yang telah diperjuangkan dengan nyawa, air mata dan darah ini akan terus melahirkan pemimpin yang seakan-akan memimpin dan wakil rakyat yang seolah-olah mewakili rakyat.

Isi dan plot ceritanya serupa, yang berganti namanya saja. Namun, diatas segala-galanya, yang paling memilukan adalah jika aktor protagonis (sosok baik) pada hari kemarin menjadi antagonis (sosok jahat) dalam lakon hari ini. Tak ada pilihan lain, Kita harus sama-sama melawannya.

Cara melawan

Dalam sejumlah agenda kunjngan ke desa-desa, saya sering mendengar legenda Ratu Adil yang diceritakan rakyat desa dengan penuh harapan. Saya memiliki perspektif tersendiri mengenai hal ini tanpa harus melecehkan harapan mereka. Menurut saya, Ratu Adil bukanlah Herucokro (sosok setengah dewa), melainkan sistem yang melahirkannya (Chandradimuka). Selama tak ada Chandradimuka yang baik, jangan berharap akan lahir para pemimpin yang cakap dan berintegritas. Jikapun ada, itu hanya kekecualian.

Bagi saya, keterbukaan dalam pendanaan politik adalah agenda yang paling mendesak dalam membangun Chandradimuka politik yang sehat. Setidaknya adalah enam langkah yang saya usulkan.

Pertama, ditetapkan batas maksimum biaya kampanye politik untuk jabatan-jabatan publik, seperti kampanye pemilihan bupati, gubernur, presiden dan DPR.

Kedua, pengumpulan dana politik harus melalui rekening terbuka yang dapat diakses publik. Hal ini juga berlaku dalam pemilihan ketua umum dan konvensi calon presiden RI dari partai politik sebagai salah satu prasyarat keikutsertaan partai/capres tersebut dalam pemilu/pilpres.

Ketiga, pengumpulan harus langsung dari individu ke rekening, tanpa perantara, dengan nilai batasan sumbangan tertentu.

Keempat, pengeluaran dana harus dilaporkan secara rinci dan terbuka ke publik.

Kelima, harus ada prosedur audit dari lembaga independen.

Keenam, pendanaan di luar rekening tunggal adalah pelanggraan dan dapat dikenai sanksi pidana.

Mekanisme rekening tunggal dan terbuka itu memang cukup berat untuk diperjuangkan. Mustahillah seorang anggota DPR memperjuangkan seorang diri. Untuk itu, saya mengajak agar kita menggulirkan gerakan ini bersama-sama.

Beberapa pihak sudah dan juga sedang mencobanya, baik untuk pemilihan anggota legislatif maupun jabatan kepala daerah. Beberapa ada yang gagal, tetapi ada juga yang berhasil memenangi jabatan politik.

Tugas saya dan Anda adalah menjadikan kisah-kisah sukses mereka sebagai inspirasi bahwa generasi politisi bersih masih bisa kita lahirkan.

 

Budiman Sudjatmiko
Anggota DPR; Pembina Utama Persatuan Rakyat Desa Nusantara (Parade Nusantara)

Juga dimuat di harian Kompas: http://cetak.kompas.com/read/2011/08/02/04393399/melawan.generasi.korup

 

Melawan Generasi Korup.pdf

Print Friendly and PDF

Sosialisasi UU Desa bersama Budiman Sudjatmiko di Kab Subang

Perlu dipahami secara bersama bahwa semangat melakukan peninjauan ulang PP No. 43 Tahun 2014 tentang tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa agar lebih menghargai dan mengakui hak asal usul seperti amanat UU No 6 tahun 2014 tentang desa khususnya azas rekognisi dan asas subsidiaritas.

Berita tentang Budiman Sudjatmiko dan hal-hal lain yang menjadi perhatiannya.

Berita tentang Budiman Sudjatmiko dan hal-hal lain yang menjadi perhatiannya.