Budiman Sudjatmiko
Budiman Sudjatmiko
"Kerja jauh dari usai, dan pengharapan selalu lebih panjang dari nafas..."

Bergabung


Berlangganan Newsletter

Dapatkan update newsletter dari budimansudjatmiko.net:

Sekali lagi, Menuju Demokrasi Multi Partai Kerakyatan!
30 Nov -0001
Adalah kehormatan yang langka di negeri ini, jika saja seseorang dapat berbicara apa yang menurutnya benar. Ironisnya, untuk memperoleh hal tersebut di negeri ini...


Pidato Pertanggungjawaban Politik Partai Rakyat Demokratik (PRD)

dibacakan di Ruang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 1997

 

Perjuangan yang sesungguhnya dewasa ini adalah melawan praktek kekuasaan kapitalistik, yang tidak berperikemanusiaan dan kejam... Perjuangan dewasa ini, dimana kita terlibat, adalah demi keadilan sosial dan keadilan industrial (Louis D. Brandies)

 

Kepada Rakyat Indonesia...
Untuk kesekian kalinya dalam sejarah, penguasa Orde Baru mengadili anak-anak rakyat karena pikiran-pikiran yang tidak berkenan. Dan untuk pikiran-pikirannya ini, mereka telah didakwa melakukan tindak pidana subversi. Jika saja penguasa tidak cukup korup, sehingga ada cukup uang untuk membiaya penambahan personil intelejen, dan kepada mereka ditugaskan untuk mengawasi apa yang dipikirkan oleh 200 juta rakyat yang majemuk ini, maka bisa dipastikan: mayoritas rakyat Indonesia akan "terbukti" subversif!

Artinya, jika penguasa diktator cukup berdisiplin mengolah dana (dan tidak bocor sebesar 30%), maka seluruh jajaran intelejen akan dengan senang hati merekomendasikan agar seluruh rakyat ini dipenjarakan! Dan Indonesia pun akan menjadi republik yang memenjarakan rakyatnya.

Karena kondisi-kondisi di atas tak terpenuhi, oleh perjalanan waktu dan peristiwa, hari ini ada sejumlah pemuda terpilih dari sekian puluh juta orang yang "subversif" (karena pikiran- pikirannya), untuk berbicara tentang yang sesungguhnya mereka pikirkan. Secara terbuka dan bermartabat.

Adalah kehormatan yang langka di negeri ini, jika saja seseorang dapat berbicara apa yang menurutnya benar. Ironisnya, untuk memperoleh hal tersebut di negeri ini, seseorang harus terlebih dahulu dirampas kebebasannya sejak tanggal 11 Agusutus 1996 di kantor BIA (Badan Intelejen ABRI) buat satu minggu lamanya!

Lebih-lebih ironis, orang-orang ini harus terlebih dahulu memperoleh stigma sebagai penanggung jawab satu peristiwa berdarah. Satu peristiwa yang bahkan tidak terlintas dalam benaknya yang lurus, selurus kata- kata yang mereka lancarkan sekarang tentang demokrasi -- keadilan dan kebenaran, tentang kebebasan, kreatifitas dan kemandirian, tentang integritas, kualitas dan kejujuran keluhuran budi, cinta kasih dan solidaritas, martabat manusia dan hak-haknya. Yang kesemuanya, telah disadarinya, akan menabrak ulu hati kebohongan penguasa.

Untuk itu, orang-orang yang sekarang berdiri di ruang ini, telah diinterogasi selama 24 jam pada hari pertama penangkapan. Orang- orang ini diinterogasi selama itu, setelah perburuan dan pengejaran yang hingar-bingar, layaknya kompetisi antar berbagai satuan intelejen ABRI, BAKIN, kepolisian, kejaksaan dan lain- lain.

Begitu hingar-bingarnya pengejaran itu, dan begitu berdarahnya peristiwa yang telah dibebankan pada pundak mereka, membuat banyak orang mengira pasti para buronan "penanggung jawab peristiwa berdarah" tersebut tak lain adalah orang-orang maniak. Orang-orang maniak yang dalam dirinya hanya ada kebencian dan hasrat yang tinggi untuk merusak.

Tak perlu disangkal lagi bahwa orang-orang ini -- yaitu kami para kader Partai Rakyat Demokratik -- memang memiliki ketidaksepakatan dengan situasi yang ada. Tetapi ketidaksepakatan mereka ini, bukanlah kebencian yang merusak, yang tidak dapat mereka pertanggungjawabkan. Justru pidato politik kami di ruangan ini merupakan pertanggungjawaban kami atas segala sesuatu yang telah kami lakukan. Namun, jangan sekali-kali berharap kami akan mempertanggungjawabkan apa yang tidak kami lakukan!

Meski demikian, kami tak hendak membantah bahwa segala sikap dan pikiran serta tindakan Partai Rakyat Demokratik -- seperti yang terpancang jelas dalam Manifesto Politik PRD -- memang mempunyai rencana-rencana yang secara sistematis dan garis besar adalah untuk memecahkan kebekuan dan kebuntuan gerakan oposisi demokratik ekstra- parlementer. Akan tetapi, dalam kesempatan ini pula, kami hendak menegaskan apa yang telah menjadi sikap dan pikiran serta tindakan politik PRD. Artinya sebagai satu pertanggungjawaban yang bukan kami tujukan kepada pengadilan ini, tetapi terhadap rakyat.

Terlebih-lebih lagi, dengan pertanggungjawaban kami kepada rakyat, kami sebenarnya hendak menunjukkan kepada seluruh garda aparatus Orde Baru bahwa apa yang sesungguhnya sekarang ini ditimpakan kepada kami, justru lebih tepat di timpakan kepada rezim diktator Soeharto.

Baiklah. Agar duduk perkaranya menjadi jelas, kami berkehendak baik untuk memberikan jalan terangnya. Namun, dalam hal ini bukan berarti kami berkehendak ataupun sekedar menggoreskan kata-kata indah yang sensasional dari darah dan keringat kami.

Kepada kami, kader Partai Rakyat Demokratik, telah dihembus- hembuskan fitnah sebagai penanggung jawab kejadian berdarah 27 Juli 1996. Mengapa kami menyebutnya sebagai fitnah? Ini bukanlah apologi. Karena kenyataan yang kami hadapi, sejak kami ditangkap pada tanggal 11 Agustus 1996, jaksa yang memeriksa kami tidak pernah sama sekali memberitahukan perbuatan yang disangkakan kepada kami. Satu hak yang harus kami peroleh sebagaimana disebutkan dalam pasal 51 huruf (a) KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) dan penjelasannya.

Dari hari ke hari, kejadian tersebut telah menggoda pikiran kami. Pikiran kami bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya ada di benak jaksa ketika mereka mengeluarkan surat perintah penangkapan dan penahanan kami. Sampai akhirnya kami sadar, bahwa yang kami hadapi bukanlah lagi sebuah proses hukum yang seharusnya. Sampai kemudian kasus ini pun dibawa ke ruangan ini, kami tetap tidak mengubah pandangan kami. Dan kami yakin, kami tidak pernah berharap ada satu pengadilan atas diri kami yang menyediakan syarat-syarat sebuah pengadilan yang konvensional. Apa lagi jika pengadilan ini dilakukan oleh sebuah rezim, seperti Rezim Orde Baru. Karenanya, kami tidak pernah bermimpi akan ada sebuah pengadilan yang benar-benar menegakkan "rule of law."

Kepada Rakyat Indonesia yang kami cinta,
Kepada kami, para kader Partai Rakyat Demokratik, telah dituduhkan kegiatan subversi. Dari sini saja kami mengetahui -- dan Rakyatpun mengetahuinya -- bahwa kasus ini dan konsekuensi- konsekuensi yang mengikutinya pastilah bermuatan politik. Celakanya, pengertian politik ini memiliki makna tersendiri, ketika ia digelar rezim yang bersikukuh mencampuradukkan kekuasaan politik dan ekonomi yang berkonsentrasi, dengan hukum yang sudah tidak berdaya lagi di hadapannya.

Dengan realita seperti ini, kami tidak hendak larut diperdaya dengan ikut mempercayakan penyelesaian kasus kami di ruangan ini. Pergulatan sesungguhnya dari kasus kami ini terletak di luar ruangan ini. Tidak berlebihan kiranya, jika kami nyatakan bahwa ini bukanlah proses hukum melainkan proses politik. Demikianlah awalnya, demikian perjalanannya dan akan demikian pula akhirnya.

Dan proses politik ini -- sekali lagi dalam pengertian rezim Orde Baru dan praktek politiknya -- tidaklah ada sangkut pautnya dengan kekuasaan yang membagi dirinya secara adil, dalam makna trias politika yang demokratis. Tetapi ia bermakna kekuasaan oleh satu orang, sekali lagi: satu orang. Dan bukan suatu kebetulan belaka jika orang ini adalah Jenderal (Purn) Soeharto -- yang ditopang oleh kekuatan politik bersenjata (ABRI), sebagai mesin penjaganya dan 5 paket Undang-Undang Politik tahun 1985 sebagai aturan mainnya. Sungguh, di mata kami, pengertian Orde Baru secara politik adalah susunan kekuasaan yang demikian. Yaitu, perpaduan tritunggal yang berkuasa dengan meredam aspirasi dan potensi Rakyat. Ketimbang rumusan yang selama ini di- amini oleh banyak orang sebagai "tatanan yang hendak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen."

Kepada Rakyat Indonesia yang kami cintai, dan para partisan demokrasi yang lahir dari rahimnya,
Indonesia adalah negeri yang selama ini telah memberi kami hidup dari tanah, udara dan airnya. Tak bisa lain, kami sangat mencintainya dan merasa memilikinya bersama-sama kurang lebih 200 juta Rakyatnya. Bersama-sama mereka, kami tiada pernah bosan- bosannya menyahut panggilan Ibu Pertiwi, Indonesia. Agar dengan demikian kami bisa melakukan yang terbaik bagi negeri ini. Satu panggilan yang berpuluh bahkan seratus tahun yang lalu telah disambut oleh Rakyat dengan darah, keringat dan air mata mereka. Tak lain agar ia bisa dibebaskan dan merdeka. Tak lain agar Indonesia kelak mereka miliki dan Rakyat berdaulat atasnya. Keyakinan inilah, yakni keyakinan bahwa negeri ini akan menjadi milik Rakyat, yang telah membawa Indonesia yang merdeka ini mengambil bentuk pemerintahan republik. Satu istilah yang berasal dari kata RES PUBLICA atau UNTUK RAKYAT!!! Untuk kaum buruhnya, untuk kaum taninya, untuk wartawannya, untuk senimannya, untuk pengusaha kecilnya, untuk pengusaha menengahnya, dan sekali- sekali bukan untuk para Jenderal, konglomerat, atau hanya untuk satu keluarga saja!!!

Untuk Rakyatlah setiap kekuasaan harus diabdikan, dan dari Rakyatlah kekuasaan itu berasal. Untuk itulah kita memilih demokrasi. Untuk itulah kita berparlemen, dan untuk itulah partai-partai politik didirikan. Oleh karena itu, tidak lama setelah Indonesia merdeka, Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta mengeluarkan Maklumat X tanggal 3 Nopember 1945. Maklumat tersebut memberikan keleluasaan Rakyat Indonesia untuk mendirikan partai-partai politik. Dengan satu kesadaran: hanya melalui partai politiklah, setiap proses politik yang melahirkan kekuasaan itu bisa dijamin berasal dari Rakyat. Dan seseorang tidak harus dituduh melakukan kegiatan subversi atau anti Pancasila hanya karena memahami kebenaran yang sungguh sederhana ini. Begitu sederhanya kebenarannya ini, sehingga daya pikatnya menggelegakkan darah kami para pemuda, pada tatapan pertama.

Justru kita layak curiga terhadap orang-orang yang selalu menutupi kebenaran sejarah ini. Terlebih-lebih Rakyat harus mencurigainya ketika satu kekuatan yang berkuasa membungkamnya. Apalagi jika kekuasaan itu dipertahankan dengan menginjak-injak dan menghina kedaulatan Rakyat dengan cara yang telanjang sekali!

Telanjang di mata Rakyatnya, dan telanjang di mata dunia. Dan ketika kedaulatan Rakyat telah diperlakukan sewenang- wenang, apalagi yang tersisa dari penguasa, kecuali senjata, organisasi kekuasaan dan konspirasi-konspirasi bisnisnya, yang angkuh berdiri di hadapan mereka yang terluka, hilang dan mati pada tanggal 27 Juli 1996. Yang jejaknya bisa kita lacak jauh ke belakang, dalam sistem kekuasaan yang keras kepala di hadapan gelombang perubahan. Dan siapapun yang terluka, hilang dan mati pada pagi itu, mereka telah menjadi terang api yang tak kunjung padam, di tengah- tengah Rakyat yang tak pernah surut berlawan.

Kepada Kaum Buruh, Petani, Pemuda, Mahasiswa, dan seluruh Rakyat Indonesia yang kami cintai,
Apa yang sesungguhnya terjadi pada tanggal 27 Juli 1996? Dan bagaimana ia harus diletakkan di atas panggung politik Indonesia? Seperti kita ketahui bersama, kejadian di pagi buta tersebut, adalah konsekuensi dari rangkaian kejadian sebelumnya. Secara khusus ia dipicu oleh adanya proses pemecahbelahan terhadap tubuh PDI di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Dan yang lebih khusus lagi, peristiwa berdarah tersebut dipicu oleh serangan pagi berdarah terhadap Kantor DPP PDI oleh mereka yang menamakan dirinya sebagai "massa" Pendukung Kongres.

Penyerbuan tersebut telah menjadi tembakan salvo bagi suatu pergolakan di dalam kota Jakarta, dan yang disusul dengan seruan-seruan dari para petinggi militer bagi suatu pembersihan terhadap gerakan demokrasi. Pagi hari itu, kami para kader Partai Rakyat Demokratik, menerima pemberitahuan melalui telepon tentang penyerbuan Kantor DPP PDI. Kami memperoleh telepon tersebut dari kawan kami Garda Sembiring, salah seorang pemuda yang berdedikasi, yang juga telah diseret penguasa ke salah satu ruangan ini. Dia adalah Ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Cabang Jabotabek. Penyampaian informasi tersebut dilakukannya setelah dia bertemu dengan salah satu anggota Satgas PDI yang telah berhasil lolos dari ladang pembantaian di Kantor DPP PDI tersebut, di Sekretariat KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu).

Harap diketahui, bahwa kejadian tersebut tidak kami duga sebelumnya. Pada saat itu, kami para kader Partai Rakyat Demokratik, berpikir bahwa terlalu mahal biaya politik bagi pemerintah/ABRI jika mereka nekad mendorong tindak kekerasan dalam pengambilalihan Kantor DPP PDI.

Nyatanya, apa yang luput dari perkiraan kami adalah bahwa pemerintah/ABRI telah "siap" dengan segala skenario politiknya. Dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Bahkan akhirnya kami pun menyadari, bahwa penguasa bukan sekedar siap dengan konsekuensinya, melainkan lebih dari itu, mereka juga telah siap dengan korban `kambing hitam". Mereka telah menyiapkan pihak yang akan dijadikan tumpuan seluruh kesalahan dan bertanggungjawab atas segala akibat politik dari penyerbuan berdarah ini. Untuk seterusnya, perintah tembak di tempat dan histeria kampanye anti-komunis, guna menggulingkan lawan-lawan politiknya.

Hal ini mengingatkan kami pada skenario "pembakaran Reichstag" di Jerman menjelang naiknya Hitler ke panggung kekuasaan. Keberadaan kami di sini, sama seperti orang Belanda yang gila, yang dituduh oleh Hitler sebagai komunis dan penanggungjawab pembakaran yang sebenarnya diperintahkan oleh Hitler sendiri. Sehingga Hitler kemudian punya legitimasi untuk memberangus lawan-lawan politiknya! Dan ini semua juga memberikan pembenaran bagi Hitler untuk menggunakan senjata dan organisasinya, menggertak siapa saja yang menghalangi naiknya dia ke atas tampuk kekuasaan.

Dan seperti telah kita saksikan bersama, peristiwa 27 Juli 1996 pada pagi hari tersebut telah berhasil memprovokasi kemarahan rakyat pada mulai siang hingga malam hari. Kemarahan dari mereka yang selama ini telah dihimpit oleh persoalan- persoalan ketidakadilan. Ketidakadilan yang menyumbat nafas dan memeras keringat hidup rakyat Indonesia.

Persoalannya adalah: Mengapa Rakyat sedemikian marah dan kemarahannya membakar Jakarta? Jika satu peristiwa terjadi, siapakah yang dirugikannya? Dan apakah hanya ada pelaku tunggal yang memperoleh keuntungan dan faktor tunggal yang menjadi pemicunya? Justru soal-soal inilah, seluruh permufakatan politik yang keji, yang harus dijelaskan kepada Rakyat.

Namun sayang sekali, mulai dari persidangan 124 kader PDI Pro-Megawati hingga persidangan kami pun, persoalan ini tidak menjadi jelas. Justru sebaliknya, satu kebohongan besar dijelaskan oleh kebohongan lain. Hingga ia menjadi gumpalan hitam yang ditorehkan ke atas wajah hukum dan kehidupan politik kita.

Semoga Tuhan membakar tangan para pembunuh dan lidah para pembual!

Kepada Rakyat Indonesia yang kami cintai, yang kehormatan dan kedaulatannya terenggut dalam selama 30 tahun lebih,
Ada satu kata-kata mutiara yang kami sukai dari seorang sastrawan Jerman, Bertholt Brecht. Dia berkata, "Dalam kegelapan masih adakah orang yang akan bernyanyi? Ya, masih ada. Mereka bernyanyi tentang kegelapan!" Ya, tetapi, bagaimana jika yang paling dikorbankan dalam kegelapan politik -- yaitu Rakyat -- pada saat bersamaan dibuat bisu, sehingga tak bisa berkata apa-apa tentang kegelapannya? Bisa kita bayangkan, apa jadinya jika sejumlah fakta yang sangat penting, yang melatarbelakangi satu peristiwa dibiarkan terpendam. Sementara di lain pihak, penguasa dengan leluasa melancarkan propaganda sepihak atas peristiwa yang terjadi.

Inilah kenyataan yang terjadi sehubungan dengan peristiwa 27 Juli 1996. Rezim ini dengan kekuasaannya menekan/meredam pemberitaan-pemberitaan yang berimbang. Sementara pada saat bersamaan mereka melancarkan tuduhan-tuduhan kepada organisasi kami sebagai pihak penanggungjawab atas peristiwa tersebut. Semuanya dirancang nyaris tanpa cacat. Dan kami pun dicitrakan sebagai `monster" yang berbahaya dengan sukses.

Informasi direkayasa sedemikian rupa, seolah-olah peristiwa 27 Juli 1996 adalah akibat dari satu persekongkolan makar, di mana PRD yang kami hidupi, menjadi aktor sekaligus faktor utamanya. Telah disebarkan opini di kalangan Rakyat bahwa kejadian tersebut merupakan hasil pemanasan situasi dalam bentuk "Mimbar Bebas" yang didalangi oleh PRD dengan memanfaatkan konflik di dalam PDI. Padahal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang terhormat tidak menyebutkan satu baris sekalipun tentang keterlibatan kami. Tidak secuilpun!

Justru pihak pemerintah dan aparat militerlah -- yaitu mereka yang paling getol memutarbalikkan fakta dan merekayasa tuduhan terhadap PRD -- yang secara jelas-jelas disebut melatarbelakangi terjadinya kerusuhan berdarah tersebut. Hal ini bukan saja ditunjukkan dengan pernyataan Komnas HAM bahwa pada tanggal 27 Juli 1996 telah terjadi "tindakan yang disertai kekerasan oleh DPP PDI Kongres Medan dan kelompok pendukungnya, yang dilakukan bersama-sama dengan aparat keamanan." Bahkan disebutkan pula bahwa "hal ini merupakan lanjutan dari urutan kejadian-kejadian sebelumnya yang bertalian erat dengan penciptaan konflik terbuka dalam tubuh PDI di dalam mana pemerintah/aparatur negara telah melibatkan diri secara berlebihan dan berpihak serta di luar fungsinya sebagai pembina politik dan aparat keamanan."

Jaksa Penuntut Umum, simaklah kata-kata tadi dan kunyahlah kebenarannya yang pahit untuk diri anda sendiri!

Ini adalah satu pernyataan cerdas. Ia dilahirkan langsung dari sisa kebenaran di tengah tumpukan kepalsuan yang ditimbun setelah tanggal 27 Juli! Satu pernyataan yang bukan dimaksudkan untuk memecahkan persoalan secara pragmatis, dengan mencari-cari kambing hitam. Setiap pecinta keadilan pasti akan tergerak untuk mencari akar persoalan sebenarnya. Karena hanya dengan demikian kita bisa menarik banyak pelajaran.

Setidaknya ada 6 hal yang harus kita pelajari, sebagaimana yang ditunjukkan oleh pernyataan Komnas HAM, yaitu:

Kemauan kita untuk menarik pelajaran ini akan bisa mencegah jatuhnya korban- korban yang lain. Dan keberhasilan kita untuk melacak akar persoalannya, akan bisa mencegah peristiwa serupa terulang lagi. "NUNCA MAS!" atau "Jangan terulang lagi!" demikian kata rakyat Argentina dalam dokumennya untuk mengenang pelanggaran- pelanggaran hak asasi selama rezim militer berkuasa. Demikian juga, kami nyatakan di sini: "Jangan terulang lagi," agar kedaulatan rakyat bisa kita selamatkan dari tirani. Oleh karena itu, perlu di sini ditegaskan bahwa kasus kami ini dipicu oleh peristwa 27 Juli yang berkait erat dengan kasus PDI. Ada baiknya, kita soroti duduk perkaranya.

Kepada Rakyat Indonesia yang kami cintai, yang kehormatan dan kedaulatannya terenggut selama 30 tahun lebih,
Tak bisa dipungkiri, peristiwa 27 Juli dan latar belakang yang menjadi pemicunya adalah satu rangkaian peristiwa politik. Yakni peristiwa tarik-menarik yang penuh ketegangan. Yang pertaruhannya adalah kedaulatan rakyat dalam kehidupan politik kita. Dan peristiwa tersebut menyangkut salah satu inti dalam kehidupan politik, yakni partai politik. Dalam hal ini ia menyangkut Partai Demokrasi Indonesia.

Pertanyaannya sekarang adalah: Apa saja yang dipertaruhkan dalam rangka menegakkan kedaulatan rakyat? Bagaimana ia harus dilakukan untuk menegakkan arah perjalanan republik?
Daniel Lev, seorang pengamat politik, menyatakan setidaknya ada 6 hal yang harus diperhatikan untuk membangun republik ini. Yaitu:

Lalu, apakah syarat-syarat di atas bisa kita temukan dalam sistem politik dan ekonomi kita? Kami kuatir jawabannya adalah: TIDAK! Justru peristiwa-peristiwa terakhir ini menunjukkan sebaliknya. Rekayasa kongres di Medan justru telah menunjukkan dengan gamblang betapa mekanisme demokrasi internal lembaga masyarakat (dalam hal ini partai politik) bukannya mengontrol lembaga negara. Sebaliknya, lembaga negara lah (dalam hal ini biroraksi dan militer) telah melakukan campur tangan sedemikian rupa. Mengkoyak-koyak mekanisme demokratis dalam tubuh partai politik!

Partai, di mana rakyat mengekspresikan aspirasi politiknya, tidak lagi mengontrol pemerintah dan militer. Justru, ketergantungan partai terhadap pemerintahlah yang terjadi. Hal ini telah memerosotkan partai politik dari fungsinya yang wajar sebagai organisasi rakyat. Dengan pembatasan-pembatasan yang ada, yang disahkan melalui UU No. 3 tahun 1985, partai politik telah merosot menjadi sekedar "electoral machine" (mesin pemungut suara rakyat) yang palsu. Persis seperti pemungut cukai yang korup, yang melekat pada sistem dan praktek kekuasaan yang korup pula! Satu sistem dan praktek yang selama 30 tahun ini ditandai dengan dominasi penguasa dan peran sosial politik ABRI di satu pihak, serta dilumpuhkannya partisipasi politik rakyat di pihak lain.

Dan PDI -- sebagai hasil fusi lima partai politik pada tahun 1973 -- adalah anak kandung dari sistem dan praktek politik tadi. Yaitu sistem yang kekuatannya justru terletak pada kemampuannya melumpuhkan partai politik. Sementara itu, kekuatan prakteknya terletak pada kemampuan para pejabat sipil maupun militer untuk menggertak lawan-lawan politiknya. Termasuk dengan cara masuk dalam urusan internal partai politik. Sistem dan praktek politik inilah yang mampu memangkas basis massa partai di tingkat bawah, yakni dengan "depolitisasi massa," dan yang mengesankan peran ganjil "pembina politik" di tingkat atas oleh para penguasa.

Di pihak lain, sistem ini begitu mengobral berbagai predikat dan peran politik bagi satu organisasi militer, seperti "Dwi Fungsi ABRI," "Peran sospol ABRI," "Fraksi ABRI di DPR," "Keluarga besar ABRI di Golkar" dan peran gagah-gagahan lainnya. Secara sadar, kekuatan sistem ini terletak pada peran, predikat dan fungsi yang secara nyata-nyata tidak ada dalam UUD 1945!

Secara sadar pula, kekuatan dari praktek politiknya terletak pada kemampuan membungkam secara efektif gugatan-gugatan terhadap hal ini. Terkecuali jika kita menggugatnya dengan terlebih dahulu meneken BAP (Berita Acara Pemeriksaan) untuk didakwa dengan pasal-pasal subversi dengan ancaman hukuman mati, seperti yang kami hadapi sekarang ini. Sekali lagi, pembungkaman secara sadar sungguh- sungguh efektif bagi penguasa yang tidak punya keabsahan moral, keabsahan konstitusi dan keabsahan sejarah!! Dengan segala konsekuensinya kita rasakan bersama hingga hari ini.

Kasus rekayasa kongres PDI, peristiwa 27 Juli 1996, penangkapan pimpinan dan anggota PRD serta aktivitas-aktivitas pro-demokrasi lainnya dan pengumuman "daftar LSM bermasalah" adalah bukti kepresidenan yang kuat, birokrasi dan militer di mana- mana, yang selama 30 tahun menolak berbagi tempat dengan lembaga-lembaga masyarakat, seperti partai, organisasi masyarakat, serikat- serikat buruh dan organisasi-organisasi non-pemerintah lainnya. Dan, pada tanggal 27 Juli, penolakan tersebut ditunjukkan dengan cara-cara kekerasan yang memakan korban jiwa!

Lalu, kami hendak pula menjelaskan kepada rakyat:
Begitu peristiwa 27 Juli 1996 berakhir, bukan hanya rakyat Jakarta saja yang mengalami masa-masa hidup yang sangat mencekam. Kami, para anak muda yang tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik pun mengalami masa-masa hidup yang sulit dan mencekam, karena harus menghadapi kepungan tuduhan penjelmaan PKI dari diktator Jenderal Soeharto dan ancaman moncong-moncong senjatanya. Seluruh perangkat dari presiden hingga pengurus RT, dan dari Pangab Jenderal TNI Feisal Tanjung sampai anggota Babinsa di desa-desa dikerahkan untuk menutupi segala kebobrokan dan menjauhkan PRD dari rakyat, dengan tujuan agar PRD tidak dijadikan alat perjuangan politik oleh rakyat. Bahkan media massa pun dikonsolidasi secara paksa untuk memberitakan dalih-dalih palsu itu -- yang digunakan untuk menyerang kami.
PRD adalah suatu partai politik yang lahir di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang mengalami kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan kini sedang menghadapi diktator Jenderal (Purn) Soeharto yang anti demokrasi dan anti rakyat.

Seperti kita tahu kondisi perpolitikan di Indonesia di bawah kekuasaan diktator Jenderal (Purn) Soeharto sangat jauh dari impian rakyat, dan partai-partai yang selama ini ada belum mampu tampil mandiri dan berakar di kalangan masyarakat. Di sinilah PRD lahir!

Di lain pihak kita melihat sendiri kebodohan kediktatoran Soeharto yang menuduh PRD adalah jelmaan PKI dengan alasan bahwa PRD secara struktur mirip dengan PKI yang mempunyai ormas underbouw. Betapa tidak? Bukankah struktur PRD yang mempunyai serikat buruh (PPBI); serikat tani (STN); serikat mahasiswa (SMID) dan organisasi kebudayaan (JAKKER), adalah hal yang biasa digunakan dalam partai politik manapun. Dulu pun, seperti PSI, NU, PNI, MURBA mempunyai struktur organisasi massa seperti itu. Bukankah GOLKAR pun mempunyai organisasi massa juga? Bisa kami jelaskan bahwa dalam praktek politik, partai politik mempunyai organisasi massa sektoral yang berafiliasi kepadanya untuk melakukan pemberdayaan politik. Dan itu adalah hal yang biasa. Justru jika partai politik melakukan pemberdayaan politik ke massa rakyat tanpa didukung oleh organisasi massa sektoral, maka ia akan jauh dari persoalan dan aspirasi berbagai sektor masyarakat. Sebaliknya, jika partai politik mempunyai organisasi massa sektoral, maka ia menjadi tahu dan paham apa persisnya kebutuhan rakyat.

Meski demikian halnya, kami terpaksa untuk mengatakan dengan tegas bahwa PRD berbeda dengan GOLKAR, walaupun sama-sama mempunyai organisasi massa yang berafiliasi dengannya. GOLKAR membentuk organisasi massa dari atas justru untuk memperkuat pengabdiannya kepada kekuasaan. Karena itu jangan heran bila isinya dipenuhi oleh birokrat atau tentara, yang lebih peka pada kebutuhan politik kekuasaan ketimbang kebutuhan sektor organisasi massa yang didudukinya. Mereka tidak peduli dengan upah buruh murah yang dijajakan kepada modal, baik dalam negeri maupun asing, petani yang digusur oleh 200 konglomerat, atau dikorbankan atas nama pembangunan kekuasaan diktator Jenderal (Purn) Soeharto.

Sedangkan PRD justru menampung aspirasi rakyat yang tertindas dan siap dengan rakyat membebaskan diri dari penindasan diktator Jenderal (Purn) Soeharto. Dan PRD didirikan bukan untuk memenuhi kebutuhan rezim ini, tetapi dari segi politik menginginkan Indonesia yang demokratis, dan dari segi ekonomi menginginkan Indonesia yang lebih adil dengan cara menolak monopoli oleh pihak swasta serta mendukung terwujudnya sistem koperasi. Di atas semua itu, yang harus diperhatikan, bahwa jika ada partai politik mempunyai struktur seperti halnya PRD, yang memiliki ormas sektoral maka itu tidak berarti harus disebut PKI.

Kepada kaum Buruh, Petani, Pemuda, Mahasiswa, dan seluruh rakyat Indonesia yang kami cintai.
Sekarang ini kami disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di hadapan umum, kami didera oleh dakwaan Jaksa wakil dari penguasa yang sama. Penguasa ini juga yang telah menolak hak 124 pendukung Megawati Soekarnoputri ketika duduk di ruangan ini beberapa bulan lalu. Memang kami tak mengenal mereka secara pribadi, tapi, yakinlah bahwa kami mengenal dan memahami mimpi-mimpi mereka. Kami mengenal baik kehormatan dan martabat yang mereka peroleh, ketika dipukul, dilukai, diusir, ditangkap dan menyaksikan kawan-kawan mereka mati kemudian didudukkan di kursi terdakwa dan dihadapkan dengan saksi-saksi pembual yang dihadirkan oleh para jaksa.

Dan sekarang pula, pada kursi-kursi ini telah didudukkan kader- kader PRD: Budiman Sudjatmiko, Yakobus Eko Kurniawan, Ignatius Damianus Pranowo, Garda Sembiring dan Suroso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Demikian juga di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, penguasa telah menyeret Petrus Hari Hariyanto, Wilson, I Gusti Agung Anom Astika, Ken Budha Kusumandaru, Ignatius Putut Ariantoko dan Victor da Costa.

Tindakan politik kediktatoran Jenderal (Purn) Soeharto yang sedemikian rupa ini, tak lain adalah untuk menutupi kesalahannya sekaligus membuat legitimasi baginya untuk membuang tanggung jawab perbuatannya terhadap PDI.

Rakyat Indonesia yang kami cintai,
Tapi apakah perjuangan demokrasi akan surut karenanya? Sebagaimana kasus rekayasa tersebut merupakan bagian dari alotnya penguasa dalam mempertahankan kemampuannya, maka perjuangan Megawati dalam menegakkan kemandirian partai pun tidak terpisah dari arus perubahan. Kenyataan ini tidak perlu ditutup-tutupi kejelasannya. Kita tahu betul apa arti `kemandirian partai" di mata rezim ini.

Apa yang tidak pernah dibayangkan, yang tidak bisa diterima dan yang dianggap potensi ancaman adalah ketika PDI akan menjadi partai alternatif. Yakni, ketika partai politik kembali menemukan kambali basis massanya. Upaya-upaya penjegalan terus dilakukan. Sedapat mungkin PDI dicegah agar tidak bisa melakukan konsolidasi.

Lagi-lagi upaya penjegalan itu ditandai dengan turut campurnya birokrasi dalam persoalan mekanisme internal organisasi. Di samping itu, kepentingan elemen-elemen ini ada karena memang mereka ditanam oleh penguasa sebagai agen-agennya. Elemen- elemen ini sebagian besar terdiri dari birokrat partai yang mapan. Mereka ini disemaikan dan dilahirkan sejak Orde Baru dengan OPSUS (Operasi Khusus)-nya Ali Moertopo melakukan pembersihan partai- partai politik. Mereka tetap menginginkan partai-partai politik, dalam hal ini PDI, sebagai sub-sistem dari sistem kekuasaan yang ada.

Manusia-manusia jenis ini yang lama bercokol dalam partai, tidak bisa menerima gaya kepemimpinan politik yang baru. Karena mereka menyadari betul bahwa kemandirian partai politik akan cenderung menghadapkan partai dengan kepentingan penguasa. Padahal selama ini birokrat-birokrat tua dalam partai banyak menggantungkan legitimasinya pada ketiak penguasa.

Mereka adalah untaian bom waktu yang dikalungkan di lehermu, yang siap meledak kapan saja jika kerongkonganmu berteriak "terlalu keras" menuntut perubahan !

Pengertian "pembina politik" oleh pemerintah, pada tingkatan praktis sungguh-sungguh ganjil dalam hubungan birokrasi (sebagai lembaga negara) dengan partai (sebagai lembaga masyarakat). Restu dan "pembinaan politik" oleh penguasa dalam menentukan kebijakan partai, pada prakteknya, dianggap sama atau bahkan lebih diperhitungkan dibandingkan kedaulatan anggota.

Pengalaman-pengalaman kongres PDI, muktamar PPP atau Musyawarah Nasional Golkar sekalipun, merupakan arena di mana penguasa banyak menentukan. Hal tersebut sangat kentara pada setiap momentum konferensi partai pada tingkat daerah maupun cabang. Tradisi ini telah melekat sejak rezim Orde Baru menggariskan kebijakannya dalam berurusan dengan partai-partai politik maupun organisasi- organisasi kemasyarakatan.

Konggres IV PDI di Medan pada 21-25 Juli 1993 yang dikacaubalaukan aparat adalah satu contoh. Ia menjadi contoh bagaimana Soeryadi, yang pada waktu itu "masih" tidak disukai pemerintah, dijegal agar tidak terpilih sebagai ketua umum partai. Berbagai pernyataan para pejabat sipil dan militer, dan tindak aparat keamanan membiarkan kacaunya kongres adalah bukti nyata. Pada waktu itu, skenario menyingkirkan Soeryadi berjalan mulus.

Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya, pada Desember 1993, merupakan contoh lain. Kekuatan "arus bawah" yang direpresentasikan oleh utusan-utusan daerah dan cabang mampu menolak dan melawan intervensi ini. Sebagian besar dari mereka mencalonkan dan memilih Megawati, walaupun dengan susah payah. Karena sejak awal, upaya campur tangan pemerintah sudah dilakukan dengan cara mengintimidasi para utusan ke kongres agar tidak sampai. Saat kongres pun panitia lebih banyak menggantungkan keputusan kepada penguasa, bukan berdasarkan pendapat sebagian besar peserta kongres.

Tanpa tahu malu, panitia kongres menunda-nunda jalannya sidang menunggu kata putus dari para birokrat Departemen Dalam Dalam Negeri. Birokrat-birokrat pemerintah, yang menamakan dirinya "pembina politik," turut hadir secara mencolok pula di Surabaya.

Walaupun dengan cara berliku-liku, akhirnya Megawati berhasil terpilih berdasarkan suara sebagian besar peserta kongres pada Munas PDI pada 22 Desember 1993 di Jakarta. Cara terpilihnya Megawati ini merupakan terobosan keluar dari tradisi yang selama ini ada. Begitu juga dengan gaya kepemimpinan yang dijalankannya. Ini ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:

Ketiga hal yang kami sebutkan di atas telah memberi sumbangan bagi kehidupan politik di Indonesia. Ia telah membuka satu tahap di tengah upaya panjang menegakkan kedaulatan rakyat. Ia telah menyumbangkan kosa kata "arus bawah" yang gemilang itu. Dan khususnya, ia telah memberi makna baru dalam kehidupan partai politik.

Penguasa harus mengakui bahwa benih tantangan terhadap sistem dan praktek politiknya juga telah menyebar dalam salah satu bagian sistem yang dibangunnya sendiri. Ini adalah keniscayaan.

Kecenderungan inilah yang dilihat penguasa sebagai potensi ancaman bagi kemapanan dan kekuasaan yang mereka kira takdir tak tergugat. Walau demikian kami ingin menegaskan sekarang juga: bahwa pada akhirnya sistem politik, ekonomi dan budaya harus tunduk di hadapan hukum besi perubahan!

Ketika seruan akan perubahan semakin menghebat, maka yang kita butuhkan adalah sistem baru, yang lebih mengakomodasi munculnya kekuatan-kekuatan baru dan lebih memahami perbedaan- perbedaan. Sebab, jika tidak, jika penguasa ini bersikukuh mengawetkan sistem yang lama, hanya ada ada dua pilihan di tengah arus perubahan: represi di satu pihak dan anarki di pihak lain!

Di persidangan ini pula, kami hendak berkata kepada penguasa untuk tidak mengambil salah satu dari dua pilihan itu, karena keduanya merupakan pilihan yang jelek. Di sini kami ingin berbagi keyakinan dengan seluruh pejuang demokrasi akan kebenaran kata- kata Reinhold Niebuhr: "Kemampuan manusia untuk berpikir dan bertindak adil, membuat demokrasi menjadi mungkin; tapi kecenderungan manusia untuk berpikir bertindak tidak adil, membuat demokrasi menjadi keharusan"

Rakyat Indonesia yang kami cintai, kepada siapa perjuangan ini kami persembahkan,
Di ruangan ini, di hadapan seluruh rakyat Indonesia, kami hendak menghancur-leburkan sebuah kebohongan dan kepalsuan yang dikemas dalam selubung hukum dan undang-undang, yang dilahirkan dari konspirasi jahat pemerintah dan ABRI.

Kebohongan dan kepalsuan ini, yang selama ini telah penindas dan mematikan ruang gerak kehidupan politik rakyat, bernama Lima Undang-Undang Politik Tahun 1985. Lima Undang-Undang Politik Tahun 1985 ini telah menjadi benteng pertahanan utama demi melindungi dan melestarikan kekuasaan diktator rezim Orde Baru buat kurang lebih 30 tahun lamanya, kini mulai keropos diterpa gelombang demokrasi. Semua ini sekaligus untuk membuktikan betapa Lima Undang-Undang di Bidang Politik telah mengingkari hakekat kedaulatan rakyat yang ditegaskan dalam konstitusi negara kita, yaitu UUD 1945.

Marilah kita bersama-sama mengurai satu per satu kejahatan dan kebohongan yang terkandung dalam Lima Undang-Undang di Bidang Politik tersebut.

I. Demokrasi Di Tepi Jurang Kehancuran:

Ditindasnya hak rakyat untuk berpendapat, berserikat, dan berkumpul, yang berujung pada matinya partisipasi rakyat secara luas dan mandiri.

Partisipasi politik rakyat tidak akan pernah memiliki makna yang berarti dan akhirnya mati, ketika rakyat hidup di bawah negara yang tidak memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada mereka, yaitu kebebasan mendirikan partai politik sendiri sesuai dengan aspirasi dan kepentingannya.
Dalam ketentuan umum pasal 1 ayat (1) Undang-Undang nomor 3 thn 1985 ditentukan bahwa yang dimaksudkan dengan partai politik dan golongan karya adalah organisasi kekuatan sosial politik yang merupakan hasil pembangunan dan penyederhaan kehidupan politik di Indonesia: Dua partai politik yakni Partai Demokrasi Indonesia atau PDI dan PPP dan satu golongan karya. Selanjutnya pasal 1 ayat (2) sudah mencoba menentukan definisi partai politik sebagai "organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara RI atas dasar persamaan kehendak, mempunyai kedudukan dan fungsi serta hak dan kewajiban yang sama dan sederajat sesuai dengan undang-undang ini dan kedaulatannya berada di tangan anggota."

Melalui undang-undang No. 3 tahun 1985 dengan segala perubahannya dapat diketahui secara pasti bahwa Undang-undang Kepartaian di Indonesia tidak pernah mengatur syarat-syarat ataupun cara-cara pendirian Partai Politik baru, karena menurut undang- undang tersebut yang ada hanyalah PDI, PPP, dan Golkar. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa Undang-undang Kepartaian nyata- nyata telah membunuh partisipasi politik rakyat dalam arti pembentukan cabang partai. Marilah kita lihat pembuktiannya. Pasal 10 ayat 1 mengatakan Partai Politik dan Golongan Karya mempunyai kepengurusan di tingkat:

Di tiap ibukota kecamatan dan desa ada/dapat ditetapkan seorang komisaris sebagai pelaksana pengurus Daerah Tingkat II. Komisaris dibantu oleh beberapa pembantu.

Dengan demikian, tak dapat dipungkiri lagi bahwa ketentuan tersebut membenamkan makna dan fungsi Partai Politik ke lubang kehancuran yang paling dalam. Sebagai alat politik Rakyat, Partai Politik harus mampu menjamah, merasakan, menyentuh tangis batin suara hati rakyat, sampai ke pelosok yang terpencil sekalipun. Bagaimana mungkin Partai Politik mampu sungguh-sungguh menterjemahkan keluh kesah, persoalan pokok rakyat ke dalam program partai yang sistematis dan berorientasi kepada rakyat, jika untuk berhubungan dengan anggotanya saja harus berhadapan dengan undang-undang yang melarangnya beroperasi hingga ke pedesaan? Apakah dengan kenyataan seperti ini masih bisa kita tolerir pembelaan atau apologi yang mengatakan bahwa undang-undang kepartaian ini merupakan aspirasi rakyat, hanya karena dalam proses kelahirannya, dia disetujui oleh para "wakil rakyat" di DPR? Ini adalah salah satu kebohongan dan kepalsuan produk hukum yang tak termaafkan, yang sejak kelahirannya "cacat politik."

Pun ketentuan Pasal 10 tersebut di atas, telah menjadi legitimasi formal buat melaksanakan politik massa mengambang. Politik massa mengambang ini tidak hanya mengisolasi Parpol dari Rakyat yang menjadi daya hidup dan inspirasinya, tapi juga menyudutkan rakyat pada posisi a-politis, asing dan jauh dari aktivitas politik praktis. Padahal, justru karena aktivitas politik itulah rakyat Indonesia mampu merebut kedaulatan dari tangan penjajah.

Di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, rakyat hanya diberikan "panggung" untuk berpolitik sekali dalam lima tahun, yaitu saat pemilu.

Politik akal bulus dan licik ini, tiada lain hanya untuk membangun kesadaran yang menyesatkan bahwa di atas segala- galanya, rakyat hanya butuh sandang dan pangan yang cukup. Sementara soal nasib dan masa depannya termasuk hak politiknya disubkontrakkan pada penguasa. Mereka sepanjang hidupnya sama sekali tak pernah memiliki rasa hormat sedikitpun kepada rakyat yang menjadi sumber kekuasaannya. Mereka, penguasa dengan kepala batunya, menganggap rakyat semata-mata sebagai "anak bawang" yang tak berhak untuk ikut menentukan jalannya "pertandingan." Penguasa dengan tak tahu malu, tak pernah menyadari bahwa rakyat merupakan sumber mata air bagi kekuasaannya yang kini "digenggamnya" erat-erat. Bagai anak kecil yang takut dan cemas kehilangan mainannya.

Jika politik massa mengambang ini dibiarkan terus hidup, maka tak ayal lagi yang akan dimangsanya adalah kedaulatan rakyat!!! Rakyat hidup di tengah-tengah keburaman dan kebekuan politik dan roh hidupnya yang paling utama, yaitu kodrat sosial politiknya, akan mati terpencil.

Bukan suatu kebohongan, bahwa kerusuhan-kerusuhan massa yang mewarnai kehidupan politik akhir-akhir ini -- dimulai peristiwa berdarah 27 Juli 1996 hingga peristiwa Pekalongan -- tiada lain karena rakyat sudah tidak memiliki lagi alat atau sarana politik yang tepat untuk mengekspresikan sekaligus menyelesaikan problem- problem pokoknya. Dan jangan terperangah, apabila janin pembangkangan ini suatu saat akan berkembang menjadi raksasa kemarahan rakyat yang meluluh-lantakkan mesin kekuasaan yang korup dan tidak demokratis. Cita-cita akan terlaksananya partisipasi politik rakyat yang luas dan mandiri hanya akan menjadi harapan kosong belaka, jika rakyat terus hidup di tengah-tengah gurun depolitisasi, di mana tidak akan pernah ditemukan oase untuk mengobati rasa rindunya akan peran serta dalam proses politik demi menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri.

Undang-Undang No 8 Tahun 1985 tentang Keormasan juga merupakan salah satu produk undang-undang yang berdampak langsung pada matinya kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena undang-undang tersebut telah dengan semena-mena menentukan bahwa organisasi kemasyarakatan masuk ke dalam teritori pembinaan pemerintah. Dan celakanya lagi, pemerintah memiliki wewenang membekukan dan membubarkan kepengurusan ormas, jika ormas tersebut telah "disinyalir" melakukan aktivitas politik yang dilarang dalam undang-undang keormasan. Dan betapa memuakkan bahwa tindakan pembubaran ini dilakukan tanpa prosedur pengawasan melalui jalur hukum. (Lihat pasal 12-13 UU No 8 tahun 1985).

Apabila kita bongkar lebih dalam lagi undang-undang keormasan ini, maka kita akan segera menemukan satu lagi "pengingkaran" lain terhadap makna organisasi dalam kehidupan demokrasi. Ada satu ketentuan yang melarang ormas untuk berafiliasi ke sebuah partai politik (Lihat Pasal 8). Di sini harus kami tegaskan bahwa kehidupan ormas sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari partai politik. Karena bagaimanapun juga, sekecil apapun ormas tersebut, dia memiliki makna tersendiri dalam kehidupan politik dan demokrasi.

Sekali lagi harus kami tegaskan, bahwa tugas pokok dari sebuah partai politik tidak lain sebagai alat/sarana untuk memperjuangkan dan membela kepentingan massa pendukungnya dan untuk memaksimalkan partisipasi rakyat dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Oleh karena itu partai poltik mau tidak mau membutuhkan ormas sebagai adik seperjuangannya melebarkan sayap organisasi, demi menangkap aspirasi dan kepentingan di tiap-tiap sektor. Apabila kita secara sadar memahami dan memaklumi pengertian ini, maka tidak bisa dibantah lagi bahwa partai politik hanya bisa -- sekali lagi kami tegaskan, hanya bisa melaksanakan peran dan fungsinya secara maksimal -- jika memiliki "adik seperjuangan," yaitu ormas yang bisa diandalkan. Di bawah kekuasaan sebuah negara yang demokratis, partai politik memiliki keleluasaan untuk senantiasa menawarkan program melalui ormas pendukungnya.

Namun, tidak berlebihan setelah menilik materi dan substansi undang-undang keormasan tersebut, jika kita sampai pada kesimpulan bahwa untuk kesekian kalinya partisipasi politik rakyat melalui aktivitas organisasi, telah dibuntungi. Di bawah undang- undang keormasan yang sangat tidak demokratis ini, ormas dipaksa berada di bawah ketiak penguasa. Akibatnya kebebasan untuk hidup, sebagaimana mestinya sebuah organisasi yang didirikan untuk membela kepentingan anggotannya, ikut dirampas.

Satu bukti lain dominasi negara/penguasa dalam konsep undang- undang ini bisa kita lihat pada penjelasan pasal 8 UU No.8/1985: "... yang dimaksud dengan satu wadah pembinaan dan pengembangan yang sejenis ialah hanya ada satu wadah untuk setiap jenis, seperti untuk organisasi kemasyarakatan pemuda dalam satu wadah yang disebut Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), untuk organisasi kemasyarakatan tani dalam satu wadah yang sekarang bernama Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)."

Jelas sudah kini, bahwa ketentuan ini memang strategi korporatisasi rezim Orde Baru, yang secara jumawa hendak menguasai dan menundukkan semua kekuatan sosial politik rakyat ke dalam sebuah wadah tunggal. Kehidupan politik secara umum mengandaikan adanya kompetisi atau persaingan yang terbuka. Bisa kita bayangkan di tengah-tengah masyarakat yang bersifat plural dalam hal budaya dan kepentingannya dipaksakan hidup di bawah satu wadah organisasi yang diberi izin hidup. Yang terjadi hanya kelesuan dan kebekuan politik, tanpa dinamika pendorong atau inspirasi bagi kemajuan kehidupan demokrasi. Dengan demikian tak ada satupun jaminan bahwa wadah tunggal tersebut mampu beroperasi secara maksimal dan efektif, karena yang tergabung di dalamnya adalah pihak-pihak yang orientasi politik dan kepentingannya berlainan. Tentu kami bisa memastikan bahwa undang-undang keormasan ini dibentuk tak lain hanya demi merusak dan mengucilkan gerak ormas dari kehidupan politik praktis.

Kemudian tentang UU No.5/1985 mengenai Referendum. Sejak kelahirannya, undang-undang ini memang diarahkan untuk memperkuat sistem politik yang melindungi kepentingan penguasa, yaitu sebagai konsesi terhadap tuntutan meninjau kembali pengangkatan ABRI secara sewenang-wenang di dalam DPR. Pada saat itu, Jenderal (Purn) Soeharto sebagai Presiden mengatakan bahwa jika sistem tersebut -- pengangkatan ABRI secara sewenang-wenang di DPR -- diubah, maka akan membahayakan keselamatan nasional. Alasannya selama ini kekuatan yang konsisten melindungi dan menjaga konstitusi UUD 1945 adalah ABRI. Karena itulah penguasa menyusun undang-undang referendum untuk menjegal setiap usaha yang akan menggantikan UUD 1945.

Secara teoretis, referendum digunakan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung tentang hal-hal fundamental yang menyangkut nasib dan masa depan rakyat sendiri. Contohnya, kasus referendum di Quebec Canada, yang dipakai ketika muncul keinginan penduduk Quebec untuk memisahkan diri dari Canada, atau referendum di Chile tahun 1988 ketika rakyat diminta pendapatnya apakah Jenderal Pinochet masih dikehendaki untuk memimpin atau harus turun. Sedang untuk kasus yang terjadi di Indonesia hal-hal seperti tersebut di atas masih belum tersedia alat-alatnya atau masih belum diatur. Sehingga terang di mata kami, persoalan referendum di Indonesia justru dimanipulasi untuk mempertahankan kepentingan Penguasa.

II. Selama lima kali pemilu di Indonesia tak satupun yang demokratis.

Inilah salah satu dosa lima paket UU Politik rezim Orde Baru. Pemilu sejauh yang kami pahami adalah metode yang demokratik untuk memilih wakil-wakil rakyat dalam lembaga perwakilan atau parlemen, dan merupakan salah satu pranata konstitusional bagi perubahan hubungan-hubungan kekuasaan. Namun apakah memang demikian adanya drama pemilu selama rezim Orde Baru berkuasa? Kami, dan tentunya seluruh rakyat Indonesia serta pengunjung di ruang sidang, tidak punya pilihan lain kecuali mengatakan bahwa pemilu di bawah rezim Orde Baru telah menjadi mainan yang boros, sia-sia dan memalukan.

Boros, karena "Pesta Demokrasi" tersebut selalu menyedot dana yang besar. Sia- sia, karena selama lima kali pemilu yang dilakukan rezim Orde Baru tak pernah sekalipun pemilu mencerminkan kedaulatan rakyat sejati dan berkali-kali pula hasilnya selalu mengecewakan dan menyakiti hati rakyat.

Memalukan! Apakah tidak memalukan apabila pemilu yang seharusnya milik rakyat, telah dirampok oleh penguasa dan dijadikan alat legitimasi kekuasaannya lima tahun sekali.
Sekarang, untuk kesekian kalinya kami ingin mengajak rakyat dan para pengunjung di ruangan ini, membuktikan bahwa undang-undang pemilu yang berlaku sekarang sungguh tidak demokratis. Sehingga, kita bisa dengan yakin berkata "Bagaimana sebuah pemilu bisa berjalan secara demokratis, jika undang-undang yang mengaturnya tidak demokratis?"

Di dalam sebuah negara yang menjadikan demokrasi sebagai imannya, seluruh warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama dan sederajat untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di Parlemen. Namun yang terjadi di Indonesia tidaklah demikian adanya. Setiap calon legislatif, yang diajukan oleh masing-masing partai politik, harus terlebih dahulu melewati "saringan" yang kriterianya pun sangat tidak jelas.

Taktik culas ini tiada lain merupakan usaha rezim Orde Baru, untuk menyeleksi wakil rakyat yang bisa memenuhi selera penguasa, yaitu wakil rakyat yang oportunis, yang ideologinya adalah uang dan jabatan, yang mau dipaksa untuk tunduk kepada penguasa. Dengan komposisi wakil rakyat yang memiliki watak "njilat ke atas, nginjek ke bawah" seperti ini, maka penguasa bisa tidur nyenyak, tanpa rasa gelisah akan adanya kritik dan kontrol dari parlemen.

Dalam undang-undang itu, sebenarnya tidak satupun ketentuan yang mengatur tentang litsus atau screening dalam pencalonan wakil rakyat. Pasal 19 menentukan bahwa seorang calon dapat ditolak oleh panitia pemilihan kalau ia tidak memenuhi syarat pasal 16. Pasal 16 hanya menentukan syarat-syarat material seorang calon tanpa mencantumkan ketentuan litsus. Tetapi pasal 19 ayat (5) menentukan bahwa tata cara pelaksanaan pencalonan akan diatur lebih lanjut oleh peraturan pemerintah. Di sinilah undang-undang pemilu memberikan kesempatan yang luas kepada penguasa untuk intervensi secara sewenang-wenang demi kepentingan dan kelanggengan kekuasaan mereka.

Akibatnya, keluarlah peraturan tentang litsus yaitu dalam PP No. 10/1995. Dalam pasal 76 ayat 2 dikatakan bahwa "Panitia Peneliti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2 mengadakan penelitian mengenai pemenuhan syarat pengajuan calon dan syarat calon anggota DPR/DPRD I, DPRD II dan melaporkan hasil penelitiannya kepada Ketua PPI/PPD I/PPD II."
Fakta ini merupakan bukti betapa UU pemilu yang berlaku sekarang ini sangat anti demokrasi dan pilih kasih. UU Pemilu hanya mengatur hal yang umum saja, sehingga dengan demikian penguasa dengan seenak udelnya memberikan interpretasi sepihak dan tak mendasar.

Kaum buruh, kaum tani, pemuda, mahasisiwa, wartawan yang kami cintai, kepada siapa perjuangan ini kami persembahkan,
Kebobrokan selanjutnya dari undang-undang pemilu adalah pada penyelenggaraan pemilu. Dengan mata telanjang bisa kita lihat bahwa pejabat pemerintah/penguasa sangat dominan dalam stuktur penyelenggaraan pemilu. Di dalam Undang-Undang Pemilu No 15 atau 1996 hingga Undang-Undang Pemilu No. 1 1985, ada satu pernyataan bahwa pemilihan umum dilaksanakan oleh pemerintah di bawah pimpinan presiden (ayat 1). Untuk melaksanakan pemilu maka dibentuklah Lembaga Pemilihan Umum diketuai oleh Menteri Dalam Negeri (ayat 3). Di dalam Lembaga Pemilihan Umum dibentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang berkedudukan di Jakarta, Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I yang berkedudukan di Ibukota Propinsi, dan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II yang berkedudukan di Ibukota wilayah administratif yang ditetapkan setingkat dengan daerah tingkat I, serta Panitia Pemungutan Suara yang berkedudukan di Ibukota Kecamatan dan Panitia Pendaftaran Pemilih di tiap-tiap desa atau daerah setingkat desa.
Bukan secara kebetulan, apabila dari sini kami menyimpulkan bahwa undang- undang pemilu yang sekarang ini dibentuk melulu hanya untuk memenangkan partai penguasa yaitu Golkar.

Bagaimana tidak? Hampir seluruh struktur panitia dan penyelenggara pemilihan umum dikuasai oleh birokrasi, yang notabene adalah wakil penguasa dan tentu saja orang-orang Golkar. Wakil penguasa mulai dari Mendagri hingga lurah dijadikan Ketua Panitia Pemilihan di wilayahnya masing-masing. Kecurangan yang sangat menyolok adalah birokrasi penguasa dijadikan mesin pemilu secara langsung. Bagaimana bisa dijamin panitia penyelenggara pemilu akan fair dan bersih dari kecurangan, jika strukturnya didominasi oleh wakil-wakil dari Golkar. Tentunya di bawah sumpah jabatan mereka mau tidak mau harus memenangkan Golkar sebagai partainya penguasa.

Dalam undang-undang pemilu ini, partai politik selain Golkar berada dalam posisi tertindas dan menjadi "pelengkap derita" belaka. Meskipun dalam kenyataannya mereka dilibatkan dalam pemilu, namun keterlibatan itu sangat kecil dan tidak bisa memaksimalkan peran mereka sebagai alat perjuangan rakyat. Oleh karena itu, kami yakin Rakyat dan pengunjung di ruangan ini akan sependapat dengan kami, bila kami mengatakan: "Dalam pemilu... di bawah syarat-syarat undang-undang yang seperti sekarang ini, penguasa bertindak sebagai konseptor, pembuat, pelaksana dan sekaligus sebagai pemenang tiada tandingan!"

Jangan pernah bermimpi dan berharap akan terjadi pemilu yang bebas, jujur, dan adil jika undang-undang yang mengaturnya masih belum diubah. Tuntutan dan teriakan terhadap pemilu yang bebas dan jurdil hanya akan menjadi barang rongsokan yang memenuhi tong-tong sampah dan musnah ditelan angin. Undang-undang pemilu ini dengan segenap embel-embelnya, sejak awal hingga sekarang telah menjadi mesin pembunuh elemen yang paling dasar dari demokrasi, yaitu kedaulatan Rakyat!

III. Di bawah paket 5 Undang-Undang Politik tahun 1985

Rekruitmen Politik untuk mengisi posisi penting dalam pemerintah dilakukan dengan cara konspirasi dan tertutup.

Rakyat Indonesia yang kami cintai, dari siapa kami memperoleh inspirasi untuk berjuang...
Dalam sebuah kehidupan bernegara yang demokratis tentunya hampir selalu terjadi rekrutmen politik yang terbuka dan reguler untuk mengisi posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Artinya proses pemilihan dan pengangkatan orang-orang inipun harus melalui mekanisme rekrutmen yang transparan dan sudah tentu demokratis.

Namun selama masih ada paket 5 Undang-undang Politik tahun 1985, proses rekrutmen dalam pemerintahan, termasuk di dalamnya di Dewan Perwakilan Rakyat, tak pelak lagi dilakukan dengan cara yang tertutup dan konspiratif. Semuanya hanya menguntungkan penguasa belaka. Kami akan menggambarkannya secara sederhana.

Parlemen atau lembaga legislatif memiliki tugas mengawasi jalannya pemerintahan yang dipimpin oleh presiden. Idealnya, parlemen atau DPR yang merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat, dalam pekerjaannya harus berani melancarkan kritik dan mengontrol secara penuh pemerintah yang dipimpin presiden. Namun apa lacur, para wakil rakyat yang duduk di parlemen tak lain merupakan orang-orang "pilihan penguasa." Mereka duduk di dalam parlemen karena memiliki kepentingan politik yang sama dengan penguasa atau dengan kerabat dekat penguasa.

Celaka dua belaslah, apabila mekanisme kehidupan bernegara dan berbangsa dijalankan hanya oleh kepentingan keluarga atau hubungan darah. Inilah borok nepotisme yang selama ini diderita oleh politik parlemen Indonesia.

Sekarang kami hendak menguak kabut gelap yang selama hampir tiga puluh tahun lebih menguasai kehidupan parlemen di Indonesia, yaitu adanya fraksi ABRI.

Pengangkatan anggota DPR menurut Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR dilakukan untuk jumlah tertentu yaitu 75 orang (menurut UU No. 5 tahun 1995). Karena ada "jatah" tetap itu ABRI memiliki kuasa tanpa perlu dipilih dan memilih.
Di negara manapun di muka bumi ini, yang namanya parlemen merupakan perwakilan partai-partai politik yang mengikuti pemilu. Dus, anggota parlemen merupakan wakil aspirasi Rakyat yang disalurkan melalui partai politik masing-masing.

Jadi, jika ABRI hendak mempertahankan posisinya di dalam parlemen mereka harus memiliki partai politik sendiri yang akan memperjuangkan perolehan jumlah kursi ABRI di parlemen. Inilah cara yang benar, bukan dengan mengingkari hakekat Kedaulatan Rakyat kemudian berdemagogi bahwa ABRI memiliki peran sosial politik.

Sudah terbukti berkali-kali para wakil rakyat dari partai politik selain Golkar (PDI dan PPP) menjerit dan mengeluh bahwa yang selalu menjadi "penjegal demokrasi" di dalam parlemen tak lain dan tak bukan "aliansi jahat" ABRI dan Golkar. Inilah akibatnya jika segerombolan orang bersenjata ikut cawe-cawe dalam politik. Tak akan pernah ada dialog politik yang rasional dan terbuka, yang tersisa adalah main todong dan main kokang senjata.

Demokrasi tidak akan pernah keluar dari moncong senjata. Dan moncong senjata hanya berharga dan bermakna ketika berhadapan dengan monster atau binatang buas. Dia tidak akan pernah berharga dan hina bila dibawa ke dalam parlemen!

Takut akan kehilangan muka konstitusionalnya kemudian dibentuklah legitimasi ABRI untuk berpolitik dan menguasai parlemen, yaitu Dwi Fungsi ABRI. Seperti yang tertulis dalam penjelasan umum butir 8 Undang-Undang Pemilu:
"mengingat Dwi Fungsi ABRI sebagai alat negara dan kekuatan sosial yang harus bersatu dan merupakan satu kesatuan untuk dapat menjadi pengawal dan pengaman Pancasila dan UUD 1945 yang kuat dan sentosa, maka ABRI diadakan sendiri. Fungsi dan tujuan ABRI seperti tersebut di atas akan tercapai jika anggota ABRI berkelompok-kelompok berlain-lainan pilihan dan pendukungnya terhadap golongan- golongan dalam masyarakat. Karena itu, semua anggota ABRI tidak menggunakan hak pilih dan hak dipilih tetapi mempunyai wakil-wakil dalam lembaga perwakilan rakyat dengan melalui pengangkatan".
Cara pengangkatan wakil rakyat ini merupakan bagian yang paling konservatif, otoriter, dan tentu anti demokrasi dari peraturan atau undang-undang yang ada. Mereka yang diangkat dengan semena-mena, adalah orang-orang yang sesuai dengan selera penguasa dan memiliki kepentingan politik yang sama dengan penguasa. Dengan demikian, apakah orang-orang yang diangkat di dalam parlemen ini sungguh-sungguh bisa dikatakan mewakili kepentingan rakyat? Kami katakan tidak! Sama sekali tidak! Ini adalah penghinaan dan pengingkaran terhadap makna kedaulatan rakyat!

Satu hal lagi yang semakin membuktikan bahwa Undang-Undang di Bidang Politik ini sangat anti demokrasi dan sudah tak laik pakai lagi, adalah soal recall atau "pengusiran secara paksa" anggota DPR dari kedudukannya. Ini adalah usaha rezim Orde Baru untuk mengkerdilkan parlemen. Anggota parlemen merupakan wakil rakyat dan perwujudan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu mereka harus mempunyai militansi dan keberanian untuk membela hak dan kepentingan Rakyat di dalam parlemen. Namun apa yang terjadi jika untuk mulai sedikit kritis saja, anggota parlemen harus berhadapan dengan ancaman "pengusiran secara paksa." Jika demikian adanya, maka genaplah sudah ketidakpercayaan rakyat kepada parlemen (DPR), kepada "rumah" yang seharusnya mampu mengayomi mereka.

Lanjut untuk lebih lengkap...

Print Friendly and PDF

Rapat Paripurna DPR, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/12) berhasil mensahkan RUU Desa menjadi Undang-Undang.

Pada hari senin tanggal 17 Agustus 2009 Zainal Arifin Hoesein memerintahkan kepada Masyuri Hasan dan Nalom Kurniawan untuk mengantar surat Mahkamah Konstitusi....

Berita tentang Budiman Sudjatmiko dan hal-hal lain yang menjadi perhatiannya.

Berita tentang Budiman Sudjatmiko dan hal-hal lain yang menjadi perhatiannya.