Budiman Sudjatmiko
Budiman Sudjatmiko
"Kerja jauh dari usai, dan pengharapan selalu lebih panjang dari nafas..."

Bergabung


Berlangganan Newsletter

Dapatkan update newsletter dari budimansudjatmiko.net:

Peta Jalan Kebangkitan Indonesia
30 Nov -0001
Pada langkah selama dasawarsa pertama kita memasuki gerbang abad ke 21 ini (saat kita semua menjelang peringatan 100 Tahun Keangkitan Nasional), setidaknya seseorang berdiri dengan cemas....

 

Pada langkah selama dasawarsa pertama kita memasuki gerbang abad ke 21 ini (saat kita semua menjelang peringatan 100 Tahun Keangkitan Nasional), setidaknya seseorang berdiri dengan cemas. Tentu saja dia tidak hanya cemas, karena bagaimanapun dia juga sesekali bersuka cita karena ada saat-saat di mana janji emajuan dan kesejahteraan rakyat terus menerus diupayakan. Dan seseorang itu adalah bisa saya dan juga bisa anda.

Saya akan mulai dengan mengajukan alasan mengapa saya (dan saya harap pembaca semua) perlu cemas.

Setelah sebelumnya kita menjelang memasuki gerbang Abad ke 21 (yaitu satu dasawarsa yang lampau) kita sudah berbenah melucuti debu-debu otoritarianisme Orde Baru dengan cara melakukan demokratisasi, hari ini kita dihadapkan pada pertanyaan: apa setelah demokrasi?

Kita Pernah Memimpin

Kita diberitahu oleh sejarah jatuh bangunnya bangsa-bangsa di Abad ke 20 bahwa dalam tiap-tiap perjalanan bangsa, mereka senantiasa dihadapkan pada momentum-momentum pencapaian. Setidaknya kita sudah melewati itu semua dengan selamat hingga hari ini, meskipun itu dengan penuh luka, air mata dan kemartiran banyak anak bangsa. Momentum-momentum yang saya maksud adalah: persatuan , yaitu kesadaran bahwa kita merupakan satu bangsa. Kita memiliki momentum Sumpah Pemuda yang juga akan segera kita peringati hari jadinya yang ke 80 pada tahun ini.

Kemudian diikuti dengan momentum kemerdekaan, yaitu saat kemerdekaan politik diproklamasikan dan tujuan berbangsa dideklarasikan, sebagaimana itu bisa kita lihat dalam teks proklamasi dan penyusunan Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945. Lantas pada 20 tahun pertama setelah kemerdekaan, bangsa kita benar-benar ditempa, digenjot dan banyak diharu-biru oleh pertentangan politik dan ideologi yang tidak sedikit memakan korban jiwa. Konflik itu pada akhirnya memuncak pada Peristiwa tergulingnya Presiden Pertama Republik Indonesia, Bung Karno, setelah sebelumnya didahului terbunuhnya sejumlah perwira tinggi TNI Angkatan Darat di Lubang Buaya serta terbunuhnya sekitar satu juta anak bangsa dari elemen sayap kiri (Komunis maupun Nasionalis), yang lukanya masih belum kunjung disembuhkan sampai hari ini.

Namun, bukan berarti periode 20 tahun pertama usia kemerdekaan kita sepenuhnya cerita muram. Inilah alasan saya bersuka-cita dan tetap optimis. Setidaknya pada tahun 1955, kita menjadi bangsa yang membuktikan diri mampu menyelenggarakan Pemilu yang paling demokratis dengan para partisan yang memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang tinggi. Mungkin saja ini akibat dari semangat revolusi kemerdekaan yang masih berkobar-kobar saat itu.

Pada 20 tahun pertama itu juga, Indonesia berhasil mengokohkan diri sebagai pemimpin terdepan dan beroleh hormat dari negeri-negeri Asia-Afrika dan dunia ke tiga pada umumnya. Sikap hormat tersebut karena peran sentral dan memimpin yang dimainkan Indonesia dalam Konferensi Asia-Afrika dan pendirian Gerakan Non Blok.

Bahkan pada periode ini pula Angkatan Bersenjata kita merupakan salah satu yang terkuat di belahan bumi selatan. Bangsa ini benar-benar memiliki riwayat dan kemampuan untuk menjadi pemimpin dunia.

Kemudian pada akhirnya, pada tahun 1998 kita menapaki momentum demokrasi.

Keseluruhan proses tersebut, yaitu: persatuan, kemerdekaan, dan demokrasi merupakan stasiun-stasiun pemberhentian (sekaligus keberangkatan baru) yang berhasil kita datangi dengan tetap dalam batas-batas negara-bangsa. Sekeras apapun konflik politik yang terjadi, tidaklah menggiring kita pada proses balkanisasi, yaitu proses penuh konflik akibat munculnya nasionalisme etnis atau keagamaan yang meruntuhkan negara-bangsa Indonesia.

Menurut saya, ketiga pencapaian di atas belumlah cukup karena kita masih perlu meraih pencapaian berikutnya: kedaulatan. Kedaulatan inilah yang merupakan sebuah ungkapan hak kita menentukan nasib sendiri berdasarkan kepentingan-kepentingan nasional kita yang tidak bertentangan nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya. Ini sudah sangat jelas diungkap dalam Mukadimah UUD 1945 yang menyuruh kita untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, bukan berdasarkan Pax Britanica (ketertiban berdasarkan hegemoni Inggris) sebagaimana era kolonialisme klasik, ataupun Pax Americana ( ketertiban berdasarkan hegemoni Amerika Serikat) sebagaimana era akhir Abad ke 20 atau awal Abad ke 21 ini.

Saya mempercayai bahwa tenaga pendorong yang memungkinkan kita pernah menjadi bangsa pelopor di masa lampau adalah karena nasionalisme yang menjadi tenaga penggeraknya adalah nasionalisme yang berbasis kerakyatan. Inilah nasionalisme yang akan menghantarkan kita pada kedaulatan itu. Di lain pihak, saya juga percaya bahwa kita akan merosot menjadi bangsa pariah dan berserakan dalam pentas dunia, jika kita mengkhianati nasionalisme kerakyatan ini. Atas thesis saya tersebut, berikut adalah alasan saya.

Nasionalisme Kerakyatan

Di era globalisasi neoliberal ini, negara-bangsa Indonesia punya wajah dua sisi.

Pada satu sisi, negara-bangsa menjadi panggung (yang sudah ada keretakan di sana-sini), di mana kekuatan-kekuatan ekonomi global mentransmisikan kepentingan-kepentingannya melalui para pembuat kebijakan di level nasional maupun lokal. Sementara di sisi lain, kita berkepentingan agar negara menjadi parit pertahanan terakhir bagi sebuah nation. Ia diperlukan untuk menjaga syarat-syarat minimum eksistensinya dan segala sumber daya alam yang dikandungi tanah airnya.

Di sini kita hanya perlu menengok lagi relevansi gagasan nasionalisme dalam bidang ekonomi sebagaimana dulu digagas Bung Karno. Nasionalisme merupakan gagasan yang kompleks, yang melibatkan jaringan antara berbagai rupa loyalitas. Loyalitas yang dimaksud adalah loyalitas individu sebagai anggota satu masyarakat, yang dibekali hak dan kewajiban warga negara dalam sebuah kesepakatan timbal balik dengan negara, serta peranan tiap-tiap orang sebagai produsen dan konsumen dalam ranah perekonomian. Ke ketiga ranah inilah, diskusi kita akan menjurus.

Kita mendapati bahwa ada kaitan yang kompleks dan problematik antara negara sebagai satu entitas politik dan bangsa sebagai satu konsep historis dan kultural. Maksud saya begini: jika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan satu konsep politik yang hanya dinyatakan dan didokumentasikan melalui teks proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila, maka bangsa Indonesia adalah konsep yang sebelumnya dibentuk dari proses budaya, sejarah, ekonomi dan juga politik yang panjang. Ini berupa proses yang jauh lebih rumit dari sekedar perbincangan para pendiri republik (founding parents) pada tahun 1945.

Ringkasnya: Bangsa adalah status yang hanya bisa ada setelah (dialektika) sejarah (masyarakat) dan mesti ada sebelum negara politik berdiri. Dengan begitu, nasionalisme adalah ide yang telah menuntun agar bangsa melahirkan negara dan negara pada gilirannya hendak melindungi serta mensejahterakan segenap elemen bangsa.

Namun begitu, persoalan tidak bisa kita hentikan begitu saja di sini. Pada gilirannya, konsep kebersamaan manusia sebangsa dan kesatuan bangsa dengan negara dalam kawalan nasionalisme lantas juga menuntut berlakunya praktik-praktik demokratis dalam penyelenggaraan ekonomi. Penyelenggaraan ekonomi ini merupakan organisasi bagi kegiatan produksi dan konsumsi kebutuhan barang dan jasa sebagai alas material kehidupan bersama (shared life). Dengan begitu, orang-orang ini hendak diyakinkan bahwa hidup bersama dalam satu negara-bangsa akan menggenapi janji bahagia material dan spiritual. Pada urusan inilah yang Bung Karno sebut dengan Indonesia Merdeka sebagai jembatan emas menuju keadilan sosial dan kemakmuran !

Karenanya, makna berbangsa dan bernegara Indonesia akan mengambil bentuknya yang paling material sekaligus substansial ketika isi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia menjamin keadilan serta kemajuan. Jika urusan-urusan seperti ini sudah bisa jelas, maka urusan-urusan sekitar loyalitas territorial (dalam bentuk integrasi NKRI) hanya merupakan turunan dari fakta bahwa negara memang diadakan untuk melindungi hak-hak dari suku-suku bangsa yang ada dalam wilayah tersebut. Dengan begitu, pengertian yang benar adalah bukan NKRI sebagai final atau garis finish, tapi NKRI lebih merupakan modal awal yang mutlak perlu bagi upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Di lain sisi, gagasan tentang loyalitas pada bangsa harus dirancang-bangun untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan negara bangsa Indonesia. Ia terutama harus berurusan dengan berbagai rupa loyalitas yang berkembang dalam masyarakat sekarang. Misalnya loyalitas pada agama, pada sekte agama, pada klan, kedaerahan, kelompok kepentingan berbasis posisi dalam proses produksi (kelas) dan serupa itu.

Satu langkah ke depan dari proses tersebut adalah tegaknya otoritas politik yang demokratis dan berdaulat dari, oleh dan atas bangsa Indonesia. Tentu saja, dengan mempertimbangkan kemajemukan di atas, otoritas inilah yang nantinya dikukuhkan dalam proses ekspansi produksi, perdagangan dan konsumsi. Dalam proses tersebut, aturan main maupun jurisdiksi ekonominya pada akhirnya menjangkau pada tumbuhnya integritas territorial.

Namun apa lacur! Di era globalisasi kapital sekarang, rupanya dengan logika komersial yang sama, secara ironis kapitalisme neoliberal malah cenderung untuk melemahkan konsolidasi kebangsaan. Bisa jadi balkanisasi akan berlanjut dengan pemecahbelahan bangsa secara fisik dan cita-cita, yang pada masa kolonialisme lama malah telah dibantu konsolidasinya. Lihatlah! Sama-sama anak kandung dari kapitalisme, selisih antara kolonialisme klasik dengan neoliberalisme serupa langit dan bumi. Yang lama atau klasik membantu mengumpulkan identitas yang berserak menjadi satu bangsa, sementara yang baru atau neo (yang nekolim, begitu kata Bung Karno) malah melucutinya !

Hanya melalui pemahaman atas ekspansi yang terus menerus dari kapitalisme melalui negara bangsa inilah, maka kita akan digiring pada versi khusus nasionalisme. Versi ini memiliki watak ekonomi yang dominan, berupa nasionalisme ekonomi. Akan tetapi, nasionalisme ekonomi ini mesti menancap berakar pada konteks historis dan kultural yang khas. Puncak kekuatan nasionalisme ekonomi ini malah bukan terletak pada pertentangannya dengan norma-norma sosial dan kultural namun pada kemampuan untuk memadukannya guna memperkuat masyarakat Indonesia modern.

Pada gilirannya, nasionalisme ekonomi ini condong memanifestasikan dirinya ke dalam dua cara yang saling mengkait;?1) karena negara bangsa bergantung pada kekuatan-kekuatan pasar dalam hubungannya dengan perdagangan internasional, investasi dan keuangan, maka secara alamiah ia condong beradaptasi dan menyatukan kekuatan-kekuatan pasar eksternal untuk melayani kepentingan-kepentingan nasionalnya, dan;?2) negara bangsa, khususnya jika ia merupakan pemain ekonomi internasional yang lemah, punya kecondongan kian bergantung pada pasar internal ketimbang pada pasar eksternal. Dua pilihan tersebut adalah cerminan bentuk pilihan yang sistematis dalam menghadapi globalisasi. Namun begitu, pilihan tersebut mensyaratkan adanya koalisi kepentingan aktor-aktor politik dan ekonomi di dalam negeri.

Strategi Makro: Koalisi Kepentingan Nasional

Saya menandai bahwa pilihan-pilihan kebijakan itulah teramat ditentukan oleh koalisi kepentingan dari para pembuat kebijakan.

Baik itu kebijakan yang menyangkut penjualan asset-asset negara ke tangan asing, kebijakan upah buruh murah dan serupa itu di satu pihak, maupun kebijakan nasionaliasi pertambangan, reforma agraria dan sejenisnya di pihak yang berlawanan.

Sebagai misal, ketika Evo Morales di Bolivia atau Hugo Chavez di Venezuela melakukan nasionalisasi atas asset migas mereka atau ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk mempertahankan kontrak karya Freeport, mereka ini melakukannya tidak di ruang hampa tubuh faal bangsa mereka masing-masing.

Sebagai contoh: koalisi berdasar gagasan indigenismo di Bolivia memancarkan satu pembelaan terhadap mayoritas bumiputra Indian yang sudah selama sekitar 500 tahun tak memiliki akses atas sumber daya alam mereka. Bersama orang-orang inilah, Evo Morales menggalang koalisi kepentingan bangsa bagi program-program nasionalisasi maupun juga program revolusi lahan-nya. Tentu saja dalam kasus lain, kontrak karya Freeport yang terus dipertahankan bertolak dari kepentingan jenis lain. Yang pastinya tidak bertolak dari amanat penderitaan suku-suku pribumi Papua atau Indonesia pada umumnya.

Dalam menghadapi proses tersebut, soal kelembagaan politik, agama, budaya serta dunia pendidikan memberikan respon masing-masing. Respon yang diberikan bisa progresif dan bisa juga konservatif dalam menghadapi revolusi perubahan posisi dan orientasi watak negara.

Memang tawaran alternatif atas proses reorientasi negara yang kian masuk dalam dunia yang mengglobal bisa berupa-rupa. Ada yang menawarkan pendekatan theokratis, pendekatan sosialistis, populisme nasionalis atau berusaha meredam globalisme neoliberal dengan tetap mempertahankan pendekatan kapitalisme yang berwajah kemanusiaan.

Semuanya memunculkan harapan dan visinya masing-masing. Manajemen atas harapan rakyat inilah, yang kemudian merupakan perkara pokok yang dihadapi oleh para pengambil kebijakan (eksekutif) atau para calon pengambil kebijakan yang saling bersaing satu sama lain (para politisi).

Dengan begitu, pikiran-pikiran yang mesti digelar saat ini adalah mencari titik perjumpaan untuk memberi dua jenis rekomendasi ini:

Rekomendasi kebijakan, sesuatu yang feasible secara teknis sekaligus politis untuk dieksekusi oleh para pengambil kebijakan; dan yang ke dua adalah rekomendasi perjuangan, yakni rekomendasi yang feasible jika pola kekuasaan politiknya diubah terlebih dulu atau telah memenuhi syarat.

Kapitalisme Indonesia?

Sejarah pada akhirnya adalah hakim dan penentu yang adil. Jika sejarah gagal menampakkan keadilannya pada generasi tua, ia akan muncul pada wajah angkatan mudanya. Untuk itu semua, sekarang saya layak optimis karena setidaknya pada tanggal 28 Oktober 2007, sekelompok anak muda telah menandatangani Ikrar Kaum Muda, di mana saya juga berpartisipasi di dalamnya. Ikrar tersebut jelas mengkritik sistem ekonomi yang bertumpu pada rumus sederhana: kekayaan yang satu hanya mungkin didapat dari kesengsaraan yang lain (Teks Ikrar), yang menyebabkan kekayaan alam habis dikuras meninggalkan kehancuran lingkungan yang tidak terbayar. Manusia Indonesia seperti dihantui kutuk sejarah: menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.Ikrar tersebut tidak menamai sistem ekonomi yang berlaku sekarang di Indonesia, namun orang mengenalinya sebagai sistem neoliberal.

Ini sebuah sistem yang menurut the United Nations’ Human Development Report 2000, menyebabkan 1 persen orang yang terkaya di dunia memperoleh income sebanyak 57 persen orang yang termiskin di dunia dijadikan satu, di mana bahkan diperkirakan pada tahun 2015 jurang kekayaan 20 persen orang yang terkaya di dunia dengan 20 persen yang termiskin di dunia diproyeksikan 100 berbanding 1. Akan tetapi sebagai alternatifnya Ikrar juga tidak bermaksud menggantinya dengan sistem yang bermaksud memberikan wajah kemanusiaan pada kapitalisme atau yang menurut sebuah artikel di Kompas yang bertajuk “Ekonomi Pasar Sosial”, dibangun di atas keutamaan ekonomi pasar yang kompetitif, saat inisiatif bebas setiap orang di bidang ekonomi yang dipilihnya secara bebas dijamin meskipun pada saat bersamaan menciptakan sistem perlindungan sosial untuk lapisan yang secara ekonomi lemah seperti melalui BLT (Bantuan LangsungTunai) (KOMPAS/21/11/2007).

Dalam hai ini Ikrar justru mengusulkan diterapkannya sistem yang bisa (dengan mengutip Mukadimah UUD 45) memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sebuah sistem yang tidak berlandas nafsu manusia menjadi serigala atas yang lain atau sistem yang menyisakan belas kasihan, melainkan sebuah sistem kerja dan sistem fikir kolektif bangsa untuk hidup adil dan makmur.

Memajukan kesejahteraan umum bukan gagasan yang terutama tertumpu pada semangat persaingan individualistis, melainkan solidaritas dan gotong royong di mana mekanisme lembaga negara dan non-negara kolektif (seperti koperasi) tidak bisa dipinggirkan dalam mewujudkan cita-cita tadi. Sehingga prinsip neoliberal di mana kekayaan yang satu hanya mungkin didapat dari kesengsaraan yang lain tidaklah lantas hendak diganti oleh kredo kapitalisme humanis (ekonomi pasar sosial) yang kira-kira akan berbunyi “kekayaan segelintir orang?yang tangguh bersaing dalam mekanisme pasar untuk menguasai sebagian besar sumber daya, akan memungkinkannya menyisakan derma bagi sebagian kecil saja dari yang sengsara dan lemah”. Dunia tidak pernah diperbaiki oleh orang-orang yang berniat baik hanya di waktu senggang. Negara ini didirikan bukan untuk pesta segelintir orang, entah itu yang menyisakan sisa-sisa makanan mereka (ataupun yang tidak) untuk para pengemis di luar tempat pesta.

Stasiun Tujuan

Lantas ke stasiun mana kereta yang ditumpangi kaum muda nasionalis, patriotik, progresif dan kerakyatan seharusnya terarah menjelang Kebangkitan Nasional ke-2 dalam 100 tahun ke depan? Dalam amanatnya mengenai strategi pembangunan, Bung Karno mempromosikan pembangunan yang meninggikan daya beli rakyat, dengan pembangunan pertanian sebagai landasan bagi pembangunan industri yang memproduksi barang modal (industri baja untuk melepaskan ketergantungan bahan pokok industri rekayasa). Agar pertanian bisa produktif, maka perlu diciptakan situasi kegairahan bekerja bagi kaum tani (mayoritas rakyat) dengan cara:?1.menentukan batas pemilikan tanah, sehingga tak ada yang terlalu miskin?kekurangan tanah atau terlalu luas menguasai tanah, ;?2. melindungi buruh tani dalam sistem pengupahan, serta ;?3. kredit untuk kaum tani.

Sasarannya adalah mencukupkan pasokan bahan makanan pokok untuk kota dan industri, serta diikuti dengan meninggikan ekspor pertanian untuk membeli barang-barang modal. Bagaimana dengan usaha swasta? Peran penting mereka didorong bagi penciptaan lapangan kerja yang massif, sementara industri nasional strategis yang dikuasai negara dipacu. Industri inilah yang akan memodernisir teknologi dan proses kerja sebagai konstribusi bagi pencapaian kedaulatan bangsa atas teknologi, guna mempersiapkan Indonesia sebagai the international strategic player yang maju, adil sekaligus berkarakter.

Stasiun itu bukannya tak bernama, karena alamat-nya sudah ditunjukkan dengan jelas dalam Mukadimah UUD 45. Oleh Bung Karno (proklamator kemerdekaan dan penggali Pancasila), stasiun tujuan dinamai “Sosialisme Indonesia” yang berdasarkan Pancasila (Soekarno, 28/8/1959).

* Budiman Sudjatmiko?Ketua Umum REPDEM (Relawan Perjuangan Demokrasi) – PDI Perjuangan

Artikel ini pernah dimuat di Harian KOMPAS - Rabu, 21 November 2007

 

Print Friendly and PDF

Syarat untuk jadi pemimpin yang baik adalah anda harus jadi....pemimpi yang baik.

Kepemimpinan politik dalam demokrasi yang sehat harus bertumpang tindih dengan kerja-kerja perubahan di akar rumput. Begitu juga perubahan-perubahan yang terjadi di akar rumput...

Hikmahnya saya bisa bertemu teman dari Yogya yang sudah puluhan tahun tak berjumpa...

Jadi, tidak benar jika hitungan desa rata-rata hanya akan mendapat Rp1 miliar. Yang benar adalah Rp 1,4 miliar....