Budiman Sudjatmiko
Budiman Sudjatmiko
"Kerja jauh dari usai, dan pengharapan selalu lebih panjang dari nafas..."

Bergabung


Berlangganan Newsletter

Dapatkan update newsletter dari budimansudjatmiko.net:

Orang Sosialis Naik Haji
06 Mar 2014
Rumah Tuhan dalam hati kita adalah rumah untuk para anak yatim yang dulunya banyak ditinggal dan sekarang hidupnya terlunta-lunta akibat jadi korban politik...

Sudah pantaskah saya naik haji? Pertanyaan itu cukup lama berkecamuk saat saya memutuskan berangkat haji. Lalu, di tengah perenungan, saya jadi teringat sebuah kisah Hasan al-Basyri. Alkisah, sang penyemir perlu waktu lama untuk mengumpulkan uang agar bisa berangkat haji. Celaka dua belas. Sebab saat hendak berangkat ke Tanah Suci, sang penyemir tiba-tiba melihat tetangganya, seorang ibu, sakit keras dan membutuhkan obat dan makanan. Dalam kebingungan, sang penyemir yang miskin itu merelakan uangnya untuk pengobatan sang ibu. Dia gagal ke Mekah, namun langit menghitungnya sebagai seorang yang berhaji mabrur.

Nah, kisah itu cukup menolong. Paling tidak, sebagai anggota DPR dan tinggal di kompleks perumahan DPR di Jakarta, saya belum pernah mendapati tetangga yang kekurangan pangan. Pendek kata, cerita itu “meloloskan” saya untuk berhaji.
 
Perjalanan Haji

Di Tanah Suci, ada banyak cerita. Pakaian salah satunya. Dalam berhaji, pakaian yang digunakan adalah ihram. Ini adalah pakaian yang digunakan semua orang yang berhaji. Karena pakaian inilah, semua orang terlihat sama. Tak terlihat orang yang kaya, status sosial yang tinggi, maupun sebaliknya yang miskin dan dari kelas sosial yang berbeda.

Hal yang juga sangat membekas adalah saat saya berada di Madinah. Di Raudhah, tempat paling mustajab di Masjid Nabawi. Saya bersimpuh di hadapan makan rasul yang di sampingnya juga terdapat makam dua sahabatnya, Abu Bakar ash-Shiddiq Ra dan Umar bin Khattab Ra. Di tempat inilah tetesan air mata tak dapat terbendung.

Saya menangis mengingat perjuangan Rasul Suci dalam memerdekakan bangsanya dari keterjajahan, manusia atas manusia. Ini adalah tangisan pertama saya setelah terakhir kali saya menangis pada 1996, saat bertemu dengan orang tua sendiri di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung. Kala itu saya dituduh makar, memberontak pada Orde Baru.

Menatap makam Rasulullah SAW dari dekat, sungguh tak terkatakan. Saya kebetulan pernah juga mengunjungi makam tokoh-tokoh besar. Tentu saja yang pertama adalah makam Bung Karno yang saya kunjungi pada 1987, saat saya SMA. Juga ketika saya kuliah di London dan Cambridge, Inggris. Banyak makam tokoh yang pernah saya datangi, seperti makam ilmuwan legendaris Isaac Newton di London, makam filsuf Wittgenstein di Cambridge, dan juga makam Karl Marx di London.

Akan tetapi, makam Rasulullah SAW sungguh memberikan sensasi berbeda. Ini adalah makam orang yang namanya sering ditanamkan oleh orang tua saya sebagai pemimpin saya di dunia maupun di akhirat kelak. Tentu saja, sebagaimana pada umumnya manusia, kita membutuhkan personifikasi untuk segala hal. Keimanan saya atas Islam yang saya anut sedikit banyak dipengaruhi oleh eksistensi Rasulullah Muhammad SAW. Itu adalah proses yang manusiawi.
 
Tawaf dan Sai

Tawaf dan sai tak kurang cerita. Di tempat ini saya teringat tulisan Moeslim Abdurrahman: Bersujud di Baitullah: Ibadah Haji, Mencari Kesalehan Hidup. Di situ dikatakan bahwa banyak orang yang datang ke Mekah dan menjalankan tawaf dan sai, namun tidak banyak yang bisa membuka Rumah Tuhan di hati mereka.

Rumah Tuhan dalam hati kita adalah rumah untuk para anak yatim yang dulunya banyak ditinggal dan sekarang hidupnya terlunta-lunta akibat jadi korban politik; rumah untuk para petani yang tak memiliki tanah karena tanahnya diserobot; rumah di mana orang-orang miskin tak dapat sekolah dan ke rumah sakit karena tidak ada biaya. Di situlah rumah-rumah Tuhan itu ada. Rumah yang ada dalam refleksi diri kita sebagai manusia.

Saya percaya, di dalam Rumah Tuhan yang ada pada kaum papa tersebut, keimanan dan kesalehan kita dapat tercipta. Janji Allah akan diwujudkan melalui mereka (QS al-Nisa [4]: 122−123).

Karena itulah, saya berada di salah satu Rumah Tuhan, yaitu Kakbah, tak saya sia-siakan waktu yang ada. Kebetulan tempat saya menginap jauh dari Masjidil Haram. Jauhnya jarak yang ada telah menyulitkan saya untuk secara rutin beribadah siang dan malam di depan Kakbah. Namun, saya tak boleh menyerah karena itu.

Sudah sejak malam pertama saya tiba di Mekah (dari Madinah), saya putuskan memisahkan diri dari rombongan saya, yaitu Komisi VIII DPR. Saya putuskan untuk tidak kembali ke hotel dan memilih untuk menginap dengan pakaian ihram di Masjidil Haram. Tentu untuk tekad seperti ini Allah SWT tetap memberikan cobaan, berupa hilangnya uang yang saya simpan di dompet yang ada di sabuk baju ihram saya.

Malam itu saya tak punya apa pun. Tidak juga alamat hotel yang juga turut hilang. Saya merasa sedang dicoba oleh Allah pada malam pertama saya di Mekah. Terlebih lagi, pada malam pertama itu saya gagal mencium Hajar Aswad, salat di Hijjir Ismail, maupun berdoa tepat depan Multazam (dinding antara pintu Kakbah dengan Hajar Aswad). Terus terang, saat itu saya merasa tertolak.

Saya berpikir, sebesar apa dosa saya selama ini hingga tak meraih apa pun yang ingin saya raih pada malam pertama di Masjidil Haram. Saya bahkan harus kehilangan segalanya kecuali baju ihram yang melekat pada tubuh saya. Saya merasa sedih karena saya merasa tertolak saat segalanya begitu susah untuk saya lakukan.

Di tengah kebingungan itu, saya bertemu dengan seorang atase militer Republik Indonesia di Moskow, Pak Akmal, yang saat itu juga berhaji. Pada awalnya, saya tak menceritakan pada dia yang saya alami. Saya hanya berbincang-bincang biasa dan melakukan sai bersama. Namun, itu sudah lebih dari cukup karena setidaknya saya bertemu seseorang yang bisa saya ajak bicara dengan bahasa yang saya mengerti.

Saat beliau menawarkan saya untuk ke penginapannya, saya dengan halus menolaknya. Saya katakan padanya, “Biar saya di sini dulu, Pak. Saya yakin bertemu rombongan saya, jika saya menunggu di pintu depan.”

Berjam-jam saya menunggu depan Masjidil Haram setelah salat subuh, namun tak seorang pun rombongan dari DPR saya lihat batang hidungnya. Hati kecil saya selalu berkata, “Allah SWT tak akan pernah memberi saya ujian yang melampaui kemampuan saya…. Pertolongan Allah akan datang dengan cara yang dipilih-Nya sendiri….”

Itulah suara hati saya di tengah-tengah kebingungan, baju ihram berdebu yang melekat di badan, dan rasa lapar yang sudah meninju-ninju perut. Di puncak kebingungan itulah, Allah SWT akhirnya menjawab tatkala tanpa sengaja saya menundukkan kepala saya agak ke bawah (saat itu saya berdiri di gundukan tanah agak tinggi untuk memperoleh sudut pandang yang lebih baik), tiba-tiba lewatlah depan saya sosok yang paling tak terduga. Dia adalah Halim, teman yang tak pernah saya jumpai lagi selama 20 tahun.     Dia adalah rekan saya yang dulu sama-sama menjadi demonstran dan juga pernah bersama-sama dengan saya mengorganisasi petani di Jawa Tengah pada awal dekade 1990an. Dia adalah salah seorang aktivis yang sangat berani pada masa itu. Tak terhindarkan saya memanggilnya, “Halim! Kamu Halim, kan?” Dengan rasa kaget yang sama, dia menoleh dan berseru kaget, “Kamu Budiman Sudjatmiko, kan? Lho, kok, di sini?”

“Ya, seperti yang kau lihat. Aku di sini, berhaji, lepas dari rombongan, kelaparan, dan bertemu teman lama. Hehehe.”

Kami pun berpelukan erat. Setelah saling menanyakan kabar masing-masing selama 20 tahun perpisahan kami, dia kemudian menawarkan untuk ke asramanya. Rupanya, dia sedang bertugas meliput haji mewakili sebuah media massa Islam.

Allah SWT akhirnya memberi pertolongan dengan cara yang unik. Dia menolong saya di saat yang tepat. Dia bahkan “menghadirkan” sahabat lama yang dulu sama-sama membela petani tak bertanah di daerah-daerah konflik agraria di Jawa Tengah.

Bagi saya, itu sudah jelas, saya dan Halim yang punya latar belakang yang sama dan sekarang dipertemukan di Mekah. Seolah ingin diingatkan oleh Allah SWT bahwa Tanah Haram ini meridai perjuangan kami selama ini. Kami yang pernah bersama dalam idealisme, dipisahkan oleh waktu, kemudian dipertemukan kembali di Tanah Suci. Seorang sosialis pun berhak untuk punya pengalaman spiritual yang istimewa. Aku yakin ini yang paling dekat dengan apa yang dulu dilakukan Rasulullah SAW saat beliau menyiarkan Islam dengan membebaskan budak-budak dari penindasan dan kemiskinan. Semua ini dilakukan oleh orang yang makamnya membuat saya menangis tersedu-sedu kemarin saat di Madinah.

Sumber: sindoweekly-magz.com

Print Friendly and PDF

May 1997 Increasing numbers of Indonesians are daring to oppose the government despite the harsh penalties.

Gabriel Garcia Marquez, sastrawan revolusioner Kolombia pemenang Nobel Sastra, secara realis-magis melukiskan sejarah Amerika Latin yang kelam melalui kisah keluarga Jose Arcadio Buendia....

Pada akhirnya yang memverifikasi adalah rakyat. Pertanyaannya adalah, apakah masyarakat sekarang sudah punya kemampuan untuk memverifikasi?

Berita tentang Budiman Sudjatmiko dan hal-hal lain yang menjadi perhatiannya.